Nasib Pilu Vote-getter dalam Demokrasi, Suaranya Tak Lagi Didengar
Semboyan demokrasi masih manis terdengar: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Memang demokrasi dibangun di atas daulat rakyat. Rakyatlah pemegang penuh kuasa pemerintahan. Anggota parlemen hanyalah wakil dari rakyat, maka lembaganya pun disebut Dewan Perwakilan Rakyat. Begitulah demokrasi dijalankan.
Ketika suara rakyat diwakilkan dan dimandatkan kepada sebagian elite sebagai aktor dalam institusi pemerintahan negara, logika dasar demokrasi meniscayakan suara elite politik itu sama dengan kehendak rakyat. Namun, semakin hari semakin jelas tergambarkan biasnya. Alih-alih mewakili suara rakyat, nyatanya apa yang terealisasi justru bertolak belakang dengan keinginan rakyat.
Seperti dalam kebijakan pindah ibu kota. Alasan urgennya apa sih? Sampai-sampai Ibu kota negara mesti pindah dan terkesan terburu-buru. Padahal keadaan perekonomian negeri kita sedang kurang baik, wabah virus belum mereda, malah varian baru Covid-19 yaitu Omicron cenderung meningkat. Penanganannya pun masih terkesan belum serius.
Selain itu, masih di tengah kemerosotan ekonomi dan permasalahan pandemi, pemerintah sudah dibuat sibuk dengan pesta demokrasi 2024 yang masih dua tahun lagi dimulai. Namun sejumlah politisi terlihat sudah mulai tebar pesona dengan memasang baliho bergambar wajah dirinya yang berukuran super besar dan menyesaki jalanan.
Kontestasi Pilpres 2024 masih terbilang cukup lama sehingga pemasangan baliho-baliho bergambar wajah politisi dinilai masih terlalu dini.
Kenapa para pejabat dan politisi tidak memfokuskan pada apa yang terjadi saat ini di depan mata? Memberikan perhatian bagi rakyat yang berdampak akibat pandemi yang terus berlarut. Bukan malah menyakiti hati rakyat dengan sikap egoisme mementingkan pesta demokrasi yang masih jauh di depan.
Di mana rasa simpati pemerintah? Di tengah meroketnya harga sembako, ditambah ketidakjelasan nasib pendidikan dan juga kesehatan, mereka justru sibuk dengan kontestasi pilpres yang pelaksanaannya masih cukup jauh. Ya, nasib rakyat memang hanya sebagai “vote-getter”, yang dibutuhkan dan didengarkan suaranya saat pemilu. Setelah selesai pesta demokrasi maka say good bye, suara rakyat begitu sumbang sehingga tak penting untuk didengarkan.
Pada praktiknya, dalam sistem demokrasi, yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat. Karena sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat, mereka merasa berhak membuat dan mengesahkan berbagai peraturan dan perundang-undangan apa saja meski tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Di sinilah rusaknya sistem demokrasi.
Jadi semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dalam sistem sekarang hanya omong kosong, nol besar pada faktanya.
Bahkan dari kejadian yang terbaru terkait polemik warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang dikepung dan diserbu oleh ratusan aparat hanya karena melakukan penolakan terhadap penambangan batu andesit untuk proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener sejak 2016. Penolakan tersebut kerap mendapat tekanan dari aparat kepolisian. Yang akhirnya terjadi penyerbuan aparat kepolisian dengan senjata lengkap di Desa Wadas. Tak sedikit yang ditangkap. Bentrok pun terjadi di tengah pandemi virus Covid-19 yang naik angka kasus penyebarannya.