Nasihat Natsir, Al Fatih dan Sayyidina Ali untuk Pemimpin
Dalam hidup ini manusia perlu nasihat. Apalagi para pemimpin, mereka lebih perlu lagi. Nasihat dari ulama, cendekiawan atau pemimpin besar sebelumnya, akan menuntun langkah para pemimpin itu ke jalan yang benar. Rasulullah Saw menyatakan, ”Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Untuk (dari) Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum.” (HR Muslim)
Dalam sejarah, banyak tokoh pemimpin yang patut disimak nasihat-nasihatnya. Di sini, akan dipaparkan sekelumit nasihat dari tiga tokoh pemimpin besar Islam. Yaitu: Mohammad Natsir, Mohammad al Fatih dan Ali bin Abi Thalib ra.
Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Ia dididik Islam sejak kecil oleh orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal setingkat SD-SMP di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Solok dan MULO (1923-1927) dan AMS (Algemeene Middelbare School, sekolah setingkat SMA) di Bandung (1930). Selepas AMS, ia lama berguru dengan ulama besar Ahmad Hasan. Selain itu, ia berguru juga dengan cendekiawan besar Haji Agus Salim, pendiri al Irsyad Syekh Ahmad Syurkati dan tokoh besar HOS Tjokroaminoto.
Natsir beberapa periode pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri RI. Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan tokoh-tokoh Masyumi antara lain: Sjafrudin Prawiranegara, Mohammad Roem, Yunan Nasution, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967.
Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai ke seluruh penjuru tanah air, mengirimkan dai-dai sekolah di Timur Tengah dan lain-lain.
Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya yang bernas dan mencerahkan, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya yang mencengangkan. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan. Sehingga Mr. Mohammad Roem menyatakan bahwa kalaulah Natsir itu bukan orang yang paling pandai, ia adalah seorang yang terpandai di Indonesia.
Dalam pesannya kepada beberapa cendekiawan Islam seperti, Amien Rais, Kuntowijoyo dkk pada 1986-1987, Natsir memberikan beberapa nasihat. Antara lain :
“Umat Islam dihinggapi penyakit wahn, yakni dunia yang berlebihan dan takut mengambil risiko. Keadaan semacam ini pernah terjadi dalam sejarah, pada waktu itu para prajurit yang ikut berperang karena tergiur pada harta rampasan perang, lalu karena kelengahan dan kepongahan ini mereka dengan mudah dikalahkan musuh. Hal ini terjadi pada saat Islam mengembangkan sayapnya di daratan Eropa.
Di negara kita penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi gejala yang “baru” ini, akhir-akhir ini terasa pesat “perkembangannya”, sehingga seperti sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.
Penyakit cinta dunia ini, dengan demikian, memang bukan semata-mata permasalahan dakwah, yang harus dihadapi para mubaligh dan dai, tetapi sudah merupakan permasalahan nasional. Dalam konteks yang terakhir ini masalahnya menjadi lebih sulit (complicated) karena bukan saja merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, budaya, dan bahkan politik. Untuk ini terpulanglah kepada para pengambil keputusan untuk mengatasinya.”
Dalam kesempatan lain, Natsir memberikan nasihat kepada para pemimpin:
“Kita mengkader untuk mencetak jenderal-jenderal lapangan, bukan prajurit- prajurit”.