RESONANSI

Nasihat Syekh Al-Qardhawi kepada Penghafal Al-Qur’an

Fiqhul Awlawiyyat dan Kaifa Nata’amal ma’al Qur’an adalah dua buku diantara karya Syekh Qardhawi yang saya baca. Khusus buku kedua saya baca secara utuh. Bab per bab. Kalimat per kalimat. Sejumlah poin pentingnya saya catat dan sampaikan dalam beberapa majelis ilmu.

Ada satu fenomena kekinian yang saya tangkap dari dua buku ini. Hal itu tidak hanya terjadi di negaranya, Mesir/Qatar, melainkan di banyak negara muslim. Yakni, fenomena penghafal Al-Qur’an.

Menurutnya hari ini sebagian orang menganggap bahwa maksud “mengkaji Al-Qur’an” dalam hadis (man ta’allama Al-Qur’an) ialah sebatas menghafal saja. Merasa bahwa menghafal Al-Qur’an sudah cukup. Akhirnya mereka berlomba-lomba untuk menghafal. Belum lagi hadiah menggiurkan yang disiapkan oleh sejumlah musabaqah hifzil Qur’an. Maka tidak heran jika ada orang yang fokus mati-matian untuk hafalan demi meraup hadiah tersebut. Dalam konteks negeri kita, tak sedikit yang menghafalkan Al-Qur’an dengan harapan dapat masuk Perguruan Tinggi tertentu. Pada intinya beliau ingin menyentil mereka yang mencukupkan hafalannya saja.

Itu yang pertama. Yang kedua, persoalannya adalah saat para penghafal Al-Qur’an ini terlalu dilebih-lebihkan dari mereka yang paham Al-Qur’an. Inilah fenomena yang beliau kritik.

Menanggapi hal ini ada dua poin yang beliau sampaikan:

Pertama, hafalan itu bukanlah segalanya. Dalam bahasa beliau, hafalan hanyalah sebatas “file” untuk menyimpan sebuah informasi, yang nantinya file ini perlu diolah dan dimanfaatkan. Bukan hanya dipendam dan didiamkan. Sebab hafalan itu bukan “tujuan” secara dzatnya (laisa maqshudan lidzaatihi) akan tetapi dia adalah “perantara” untuk sebuah hal lain (innama huwa maqshudun lighairihi).

Jika saya bahasakan, maksud beliau adalah hafalan itu bukan tujuan akhirnya. Justru ia adalah permulaan untuk sampai ke tahapan lainnya. Sebab “data” itu harus diolah, bukan sekadar disimpan.

“Dan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan umat muslim adalah, terlalu fokusnya mereka akan hafalan daripada pemahaman, juga memberikan porsi hafalan yang sengat berlebihan,” ujar beliau.

Kedua, menurutnya, bersikaplah adil dalam memberikan porsi aktivitas hafalan Al-Qur’an dan terhadap aktivitas pemahamannya. Sebagai contoh, kalau orang berani memberikan kucuran dana yang sangat banyak untuk penghafal Al-Qur’an, seperti dalam berbagai perlombaan, maka berikan porsi yang sama juga terhadap pemahaman Al-Qur’an. Lebih tegasnya:

“…akan tetapi belum disiapkan berbagai hadiah/apresiasi baik tersebut baik setengahnya atau seperempatnya untuk mereka yang pintar dan unggul dalam ilmu-ilmu syariat seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, akidah, dakwah. Padahal kebutuhan umat kepada mereka lebih besar, dan manfaat mereka sangat besar dan agung.” (Fiqh Awlawiyyat, hal. 68)

Dalam bahasa Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas ini merupakan loss of adab. Sebab keliru dalam menempatkan sesuatu secara adil. Akhirnya yang terjadi adalah kerancuan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button