Nasrani di Sekeliling Rasulullah Saw
Kegilaan juga tidak akan melarang manusia dari membunuh bayi, mencuri, berzina, karena kegilaan hakiki justru menghalalkan semua itu. Kegilaan tidak akan mendorong kemunculan satu umat yang menjadi mercusuar ilmu, menyinari gelapnya alam pikir Eropa, mendorong mereka untuk menggeluti ilmu pengetahuan. Kegilaan tidak dapat mendorong pembukaan negeri-negeri, menggulung dua adidaya, Romawi dan Persia, dalam waktu yang singkat. Kegilaan itu justru terletak pada perkataan yang menganggap apa yang telah dicapai oleh Islam sejak wahyu pertama turun hingga hari ini adalah hasil dari kegilaan. Itulah sebenar-benarnya ‘kejang intelektuall’.
Beberapa orientalis juga menuduh Rasulullah Saw mengambil tradisi Yahudi dan Kristen. Philip K Hitti misalnya mengatakan, ”Sumber-sumber Al-Qur’an tidak syak lagi, berasal dari Kristen, Yahudi, dan tradisi pagan Arab.”
Senada dengan Hitti, Richard Bell menulis, ”Banyak pengaruh yang langsung diberikan kepada Muhammad dari tradisi Yudaisme dan Kristen, dan banyak dari isi Al-Qur’an bergantung langsung kepada Bibel.”
Begitu juga orientalis Montgomery Watt menulis, ”Islam harus mengakui fakta usul-usul agama mereka dan serta pengaruh historis dari tradisi Yahudi Kristen.”
Para orientalis dan misionaris tidak pernah bisa membuktikan bahwa Muhammad Saw pernah membaca dan menulis kitab-kitab sebelum kenabiannya. Bahkan Al-Qur’an itu Rasulullah tidak tuliskan, tetapi didiktekan oleh Malaikat Jibril kemudian tersimpan dalam ingatan Rasulullah.
Dr Jamal Badawi menulis tentang hal ini, ”Tidak ada dalam biografi hidup beliau, hingga usia empat puluh tahun, yang menunjukkan kecenderungan ilmiah beliau terhadap bahasan-bahasan yang terkandung dalam Al-Qur’an.”
Maksudnya ketika Al-Qur’an mengabarkan adanya api di dalam lautan (QS 52:6) atau tidak bersatunya air laut dan air tawar (QS 55:19-20), tidak pernah ditemukan bukti bahwa sebelum usia 40 beliau menyelami atau sekadar menunjukkan ketertarikan pada oseanografi. Karena itu bagaimana mungkin seorang yang ummi tiba-tiba datang dengan sesuatu yang mengubah jalannya sejarah manusia untuk selama-lamanya?
Dr Jalam Badawi memberikan perbandingan menarik bahwa Nabi Musa as tumbuh di Mesir, negeri berperadaban maju. Nabi Isa as pun lahir dan tumbuh di negeri Syam yang sangat dekat dengan literasi dan ilmu pengetahuan, baik dari tradisi Yudaisme maupun pengaruh Yunani hingga Romawi. Bahkan Nabi Isa berada dalam hirarki keagamaan Yudaisme itu sendiri.
Tetapi Nabi Muhammad Saw berbeda. Di Makkah tidak terdapat komunitas Yahudi dan Kristiani. Komunitas Yahudi utamanya berada di Madinah dan wilayah sekitarnya seperti Taima, Fadak dan Khaibar. Jarak antara Makkah dan Madinah pun terbilang jauh. Makkah juga bukan sentra kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia.
Menurut penuturan Ibnu Ishaq, diantara alasan kaum Yahudi bermukim di Madinah selain karena Madinah relatif lebih subur, adalah banyaknya patung-patung berhala di Makkah. Ka’bah sendiri sudah berubah menjadi sentra penyembahan berhala. Fakta bahwa Waraqah bin Naufal, Zaid bin Amr, serta dua orang lainnya pergi meninggalkan Makkah untuk mencari agama Ibrahim yang lurus adalah bukti bahwa Makkah diselimuti oleh awan gelap paganisme.
Memang Rasulullah pernah melakukan dua kali perjalanan niaga ke Syam, pertama saat beliau berusia 10 tahun, kedua saat beliau berusia 25 tahun. Tetapi kedua perjalanan ini tidak memungkinkan terjadinya interaksi intensif antara Rasulullah dan Ahli Kitab.
Selain karena dalam perjalanan pertama beliau masih sangat belia, perjalanan kedua pun relative singkat, sehingga tidak memungkinkan bagi Rasulullah Saw untuk berinteraksi dengan ahli kitab, lalu mengingatnya untuk menghasilkan Al-Qur’an. Kemudian tidak ada satupun dari penentang dakwah Rasulullah yang pernah datang dengan bukti bahwa seseorang telah mengajarkan Rasulullah. Padahal karakter masyarakat gurun itu terbuka.