Negara Oligarki
Apakah “negara oligarki” itu ada? Sebenarnya tidak ada. Yang ada tertulis dalam literasi sejarah pembentukan negara-negara yang diberlakukan sesuai konstitusi formal di pelbagai belahan negara di dunia itu, adalah: negara monarki, negara teokrasi dan negara demokrasi.
Tetapi ketika “negara oligarki” itu telah dianggap dan disebut ada, maka koeksistensinya bakal melibas seluruh sistem yang ada, baik monarki, teokrasi maupun demokrasi. Artinya, “negara oligarki” bisa saja ada dan melekat di negara yang semula menganut ketiga sistem negara itu.
Bahkan, suatu bentuk “negara oligarki” itu bisa “tumbuh dan hidup” menuju titik kesempurnaannya, disebut sebagai negara plutokrasi.
Negara plutokrasi, tidak seperti “negara oligarki”yang bisa “dibuat dan direkayasa” ada oleh siapa saja, tetapi negara plutokrasi hanya dibuat dan direkayasa oleh segelintir orang dan atau kelompok orang-orang “super kaya” yang kemudian mengendalikan semua sistem negara.
Jadi, tidak semua di “negara oligarki” bisa menjadi negara plutokrasi, sebaliknya di negara plutokrasi sudah pasti bisa menjadi “negara oligarki”.
Singkatnya, sesungguhnya “negara oligarki” itu, adalah negara kejadian, negara yang ditandai dengan gejala terjadi dikuasai hanya oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan “luas” dan “tak terbatas” atas akses ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya di suatu negara.
Melansir Thougthco, kata “oligarki” sendiri berasal dari Yunani, “oligarkhes”, yang berarti “sedikit yang memerintah”. Pertanyaannya, dalam konteks negara Indonesia, apakah gejala-gejala sebagai “negara oligarki” telah ada dan berkembang di negara kita?
Di kekinian di negara Indonesia boleh jadi sedang berproses secara laten menuju ke sana dan “media tanam” yang menyuburkan lahan persemaian “negara oligarki” itu, adalah rezim penguasa kekuasaan Presiden Jokowi.
Padahal, pedoman dan landasan negara Indonesia berdasarkan konstitusi formal UUD 1945 dan Pancasila yang justru secara nilai dan normatifnya saja sudah dan sangat jauh bertentangan. Jokowi pun yang representatif mewakili pemerintahan sipil dipilih berdasarkan sistem demokrasi. Tetapi, mengapa negara dengan gejala-gejala mengarah keterbentukan “negara oligarki” itu malah menjadi semakin niscaya dan nyata?
Biang kerok dimulai munculnya gejala “negara oligarki”, adalah pada periode kedua pemerintahan Jokowi, ketika Pilpresnya terjerat sistem Preshold 20%. Itu strategi setting-an awal yang sesungguhnya tujuannya untuk tetap memenangkan incumbent. Ketika itu terbukti Prabowo-Sandi kalah dan sekalipun merasa dicurangi, MK kemudian menggelar sidang atas legal standing yang diajukan oleh Prabowo-Sandi. MK yang memang sudah konspiratif dengan incumbent, hasilnya tetap memenangkan Jokowi.
Terlebih, kemudian Prabowo-Sandi ikut bergabung ke dalam kabinet Jokowi. Paripurna sudah koalisi partai Jokowi-Prabowo —karena Gerindra juga ikut bergabung, menguasai 82% suara di parlemen. Jokowi pun berkuasa semakin “penuh dan paripurna”, mewujud otoritarianisme-otoriter.