SUARA PEMBACA

Negeri Berasap

Ada sebuah negeri yang seluruh tempatnya diselimuti asap. Matahari tampak kecil seperti bulan. Pandangan jauh terhalang. Jembatan tak terlihat. Asap pekat membuat seluruh warga menggunakan lampu di siang hari. Bukan suatu pemandangan yang indah, sebab asap timbul karena bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Inilah negeri berasap.

Penduduk di negeri itu menggunakan masker. Itupun masih membuat mereka sulit bernapas. Asap menyesakkan dada. Seperti ritual yang tidak ada habis-habisnya, setiap generasi menikmati asap. Udara bersih menjadi barang berharga di sana. Terhitung dalam kurun waktu 20 tahun, bencana ini menghampiri.

Bukan hanya menimpa warga sendiri, asap pun melanglang buana. Bertandang ke negara-negara tetangga. Mereka merasakan sesak yang sama. Ratusan sekolah di Malaysia terpaksa diliburkan. Bandara berhenti beroperasi. Kehidupan umat mendadak lumpuh, akibat lambatnya penanganan dibanding kecepatan kerusakan yang ditimbulkan api. Itulah sunatullah, qadarullah.

Api bekerja sesuai karakternya. Ia membakar semua benda kering yang ada di dekatnya. Di tangan manusia salih, khasiat api akan mendatangkan maslahat. Sebaliknya di tangan ahli maksiat, justru mendatangkan bencana. Karhutla, merusak seluruh sendi kehidupan. Pada fase berikutnya, akan terjadi banjir, longsor, kekeringan yang parah akibat hilangnya hutan.

Hutan yang rusak tidak akan mampu menyimpan karbon. Daur hidrologis pun terganggu. Tidak hanya menimpa manusia, orang utan, ular, gajah, unggas, dan seluruh satwa mati mengenaskan. Berbagai spesies tumbuhan dan hewan terancam punah. Alam berteriak. Suhu udara tinggi. Terjadi perubahan iklim dan pemanasan global yang amat dahsyat.

Penguasa berdalih bahwa ini terjadi akibat ulah petani membuka lahan. Padahal titik api yang berasal dari lahan ribuan hektar, jelas bukan tangan petani. Sebab lahan seluas itu dikuasai koorporasi. Demi faktor ekonomis, mereka terbiasa menggunakan tangan oknum untuk membuka lahan. Tak perlu bersusah payah. Juga tidak menghabiskan biaya besar. Murah meriah. Cukup dengan api.

Inilah yang menyebabkan asap. Kualitas udara menjadi buruk. Mulai dari level tidak sehat, sangat tidak sehat, dan bahkan berbahaya di sejumlah permukiman. Warga terpapar asap, rata-rata mengalami batuk filek, sesak nafas, pusing, demam, muntah-muntah. Dinas kesehatan meminta warga agar memakai masker, minum air putih, makan sayur, buah dan vitamin.

Upaya penanggulangan juga dilakukan oleh Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan (Satgas Karhutla), yang terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), kepolisian, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Manggala Agni dan Masyarakat Peduli Api. Mereka berjibaku memadamkan api. Salat istisqa pun sudah dijalankan. Namun sejatinya semua ini belum menyentuh solusi hakiki.

Negara tetangga akhirnya menawarkan bantuan. Akan tetapi ditolak oleh negeri berasap, sebab merasa mampu mengatasi persoalan. Bahkan kemudian muncul pernyataan dari pejabat publik bahwa keadaan negeri membaik. Sementara faktanya, titik panas masih terjadi. Ambang batas aman udara di air quality index, masih berstatus bahaya.

Sehingga muncul asumsi bahwa penguasa negeri berasap tidak sungguh-sungguh mengatasi persoalan. Mereka tidak membuka data konsesi, nama perusahaan, dan lokasi konsesi terbakar. Juga tidak ada sanksi keras dan tidak ada kepastian hukum. Jika hal seperti ini dibiarkan, dipastikan kasus karhutla akan berulang dan negeri ini pun akan selamanya berasap.

Allah Ta’ala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Karhutla adalah kerusakan yang ditimbulkan ulah manusia sendiri. Bukan peristiwa yang datang dari Allah. Kepemilikan publik yang seharusnya diberikan seluas-luasnya untuk dimanfaatkan umat, justru dikuasai segelintir orang. Maka terjadilah petaka yang hebat, akibat manusia enggan berhukum dengan aturan Allah.

Alih fungsi hutan menjadikan penurunan kualitas. Hutan dengan segala kekayaan alam, unsur hara, habitat, yang telah terbentuk selama ratusan tahun, rusak dalam sekejap. Penurunan kualitas air akan terjadi. Bekas lahan atau hutan yang terbakar, ditanami tanaman industri. Deforestasi. Hutan yang tadinya menjadi sumber oksigen bagi manusia, sedikit demi sedikit hilang.

Sebagaimana disebutkan dalam Hadits, kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses secara adil dari harta-harta milik umum itu.

Oleh sebab itu, selain penanggulangan karhutla, negara pun wajib melakukan tindakan kuratif lain yang tak kalah pentingnya, yaitu memberi sanksi tegas berupa ta’zir terhadap pihak yang merusak hutan. Baik itu berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Agar menimbulkan efek jera dan hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.

Seluruh upaya luar biasa ini hanya bisa ditegakkan jika Islam dijadikan sebagai landasan pengurusan umat. Dengan Islam, pemimpin taat dan tunduk terhadap hukum Allah. Warga pun menikmati beragam penjagaan terbaik sebagaimana pernah dirasakan umat saat Islam diterapkan di masa kejayaannya dahulu. Wallahu a’lam.

Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button