Ngawurisasi Survei dan Koruf yang Tak Dikehendaki
Tapi, yang pasti, Kompas pun jadi bagian dari ngawurisasi pada Pilkada di Jateng. Ditambah gosip yang beredar, rilis resmi survei Kompas itu bukanlah hasil yang sesungguhnya. Konon, angka-angka yang keluar sudah hasil kutak-katik yang penuh kompromistis. Wallahu a’lam.
Terlepas dari yang angka sebenarnya, hasil survei Kompas mengkonfirmasi adanya kegawatan di kubu Koruf. Kalau petahana dapat di bawah 50%, ini artinya ada lebih dari setengah pemilih sudah tidak menghendaki si penguasa. Rakyat tahu, paham, dan merasakan secara langsung sebagai korban kegagalan Widodo sebagai presiden. Artinya, lebih dari setengah rakyat Indonesia tidak menghendaki Widodo yang oleh pendukungnya di Jatim diigelari dengan Cak Jancuk jadi Presiden lagi.
Untuk bisa disebut aman elektabilitas calon petahana harus mengantongi sekurangnya 60%. Tapi, survei Kompas menyebut di bawah 50%. Sudah barang tentu ini membuat kubu penguasa dilanda panik luar biasa. Bayangkan, Jancuk bisa dikatakan sudah berkampanye sejak hari pertama diangkat sebagai Presiden. Dia menguasai dan memilliki akses segala sumber daya; baik personel, sumber daya keuangan, juga kekuasaan. Dengan privilege superdahsyat seperti itu, kok ya elektabilitas tetap saja di bawah 50%?
Sampai di sini, semestinya Koruf menyadari, bahwa rakyat memang ingin Presiden baru. Rakyat sudah lelah dengan segala kebohongan dan pencitraan yang hampir selama empat tahun full terus dipompakan ke seantero negeri publik. Satu kalimat pendek, Cak Jancuk gagal!
Di sisi lain, fakta selalu berlimpah-ruah dan betapa sangat antusiasnya rakyat pada setiap kedatangan Prabowo dan atau Sandi, jelas mengkonfirmasi rakyat emoh terhadap Widodo. Sebaliknya, selalu sepi bahkan sering bubarnya warga yang hadir di acara-acara Koruf, makin menguatkan kian dekatnya bayang-bayang kekalahan mereka.
Buat para balakurawa penguasa, terutama para aparat dan birokrat, berhentilah berpihak. Laksanakan tugas kalian sebagaimana seharusnya. Lagi pula, kapal Koruf yang kalian bela mati-matian dengan melabrak seabrek ketentuan dan perundangan, sebentar lagi bakal tenggelam. Artinya, sebagai aparat dan birokrat, kalian bakal punya komandan baru.
Terbayangkah oleh kalian, apa yang bakal terjadi setelah ini semua? Katakanlah, Prabowo-Sandi akan memaafkan semua perilaku culas dan curang kalian saat membela Petahana. Tapi, masih bisakah nurani kalian mengabaikan semua ini? Maksud saya, itu pun kalau kalian masih punya nurani… [*]
Jakarta, 20 Maret 2019
Edy Mulyadi
Wartawan senior tinggal di Jakarta