Nikah Beda Agama, Akibat Sistem Sekuler!
Rasulullah pernah bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu telah mampu memikul tanggung jawab keluarga, hendaknya segera menikah, karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluanmu. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengendalikan dorongan seksualnya.”
Menikah merupakan perkara sunnatullah yang sangat dianjurkan bagi pemuda dan pemudi, yang telah siap melangsungkan pernikahan. Karena menikah adalah bagian dari menyempurnakan agama bagi kaum muslimin dan muslimah. Namun apakah kemudian dengan demikian kita hanya menikah begitu saja, tanpa adanya batasan yang telah diatur dengan agama dan negara?
Menyikapi pernikahan beda agama, sebenarnya saat ini sudah hal yang sangat lumrah. Saat ini yang menjadi sorotan bukan pernikahan antara musyrik Yahudi dan Nasrani, atau Hindu dan Budha. Melainkan pernikahan antara Islam dan non muslim.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sistem sekular saat ini benar-benar telah menabrak syariat Islam sampai keakar-akarnya. Tontonan dan unggahan pernikahan seorang muslim dan non muslim, marak terjadi di tengah merosotnya kegagalan berpikir memahami syariat yang benar.
Padahal fakta tentang aturan pernikahan yang telah diatur oleh negara dahulu, sangat menunjukan pemahaman pemerintah yang benar terhadap syariat Islam.
Beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Adalah Pasal 4: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Artinya undang-undang tersebut melegalkan perkawinan apabila prosesnya sesuai dengan syariat.
Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Berdasarkan penjelasan pasal diatas perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia, harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan, dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.
Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M juga membuat dua keputusan dalam permasalahan pernikahan beda agama. Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Pemerintah sangat memahami aturan pernikahan beda agama. Namun sekulerisme saat ini telah menjadi tombak untuk memisahkan aturan Islam dari kehidupan, dan sasarannya adalah kaum muslimin.
Pun pernikahan antara muslim dan non muslim yang dilakukan secara terang-terangan, dan dianggap sebagai salah satu toleransi yang harus dilestarikan, adalah merupakan ketololan terhadap syariat Islam yang kebablasan. Dan lagi-lagi pernikahan beda agama selalu berlindung atas nama HAM.