LAPORAN KHUSUS

Obituarium: Mang Djel, Tokoh Pejuang Syariat Tiga Zaman


Amin Idris dalam laporannya berjudul “Abdul Qadir Djaelani, Terus Perjuangkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar” yang diunggah situs islamiccentrebekasi.or.id, menceritakan bagaimana penyiksaan yang dialami Mang Djel dalam penjara.

“Ia pernah disiksa sampai melebihi batas kemanusiaan. Ia dimasukkan ke dalam drum berisi air kemudian dialiri listrik. Kemaluan pernah disetrum,” tulis Amin.

Mang Djel dimasukkan penjara pertama kali pada 1961. Saat itu ia menjabat Ketua Wilayah PII Jakarta yang mengeluarkan surat pernyataan menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh Indonesia.

Mang Djel ditangkap Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya yang dipimpin oleh Kapten Dahyar. Ia kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer RINDAM Condet Jakarta Timur bersama para tahanan PRRI dan Permesta.

“Setelah enam bulan saya dibebaskan, tanpa melalui proses pengadilan,” kata Mang Djel.

Kemudian pada akhir 1963, ia kembali ditangkap. Kali ini oleh Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin Brigjend (Pol) Sutarto. Saat itu PB Pelajar Islam Indonesia (PII) menggelar Konferensi Besar PII di Bandung dan mengeluarkan satu ikrar untuk menentang rezim Soekarno dan PKI sampai tumbang.

Selain bersama beberapa pengurus PII, Kang Jel juga ditahan bersama para ulama. Di antaranya Buya Hamka, KH Dalari Oemar, KH Ghazali Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu’thie, dan H Zamawi. Mereka dikumpulkan di Sekolah Perwira Kepolisian Gunung Puyuh, Sukabumi.

Penahanannya kala itu dengan tuduhan mengadakan rapat gelap di rumah mantan tokoh Masyumi Tangerang yang dihadiri oleh Buya Hamka, KH Dalari Oemar, KH Ghazali Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu’thie, H. Zamawi dan empat orang tokoh Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berencana menggagalkan Pesta Olah Raga Ganefo di Jakarta. Tuduhan itu dibantahnya karena tidak pernah ada rapat semacam itu.

Selama masa tahanan Mang Djel dan para ulama lainnya yang ditahan hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Empat bulan pertama tak boleh dijenguk keluarga.

Setelah genap setahun, ia kemudian dipindahkan ke tahanan Mabes Kepolisian di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sinilah ia bertemu dengan para tahanan PRRI/Permesta, tokoh Masyumi dan GPII seperti Mawardi Noer, KH Hamidullah dan Djanamar Ajam.

Selama menjadi narapidana politik, terutama di era Soeharto, Mang Djel menghabiskan waktu di penjara untuk menulis.

“Jika tidak memanfaatkan waktu untuk menulis maka saya tidak akan mendapatkan manfaat dari kehidupan penjara berpuluh tahun di LP Cipinang tersebut,” katanya.

Untuk kepentingan membaca dan menulis, ia mengaku diizinkan memasukkan sejumlah buku.

“Tak kurang 500 judul buku tersusun di perpustakaan saya. Buku-buku ini datang silih berganti, tergantung topik yang saya tulis. Setiap harinya dari jam 08.00 sampai 12.00 saya khususkan waktu untuk membaca dan menulis. Dan, puku 16.00 sampai 18.00 untuk tadarusan Al-Qur’an,” kata Mang Djel.

red: shodiq ramadhan/dbs

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button