OPINI

Orde Lama Soekarno, Komunis dan Sekarang (1)

Hamka adalah saksi hidup yang menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan di zaman orde lama Soekarno yang sangat dipengaruhi oleh PKI. Untuk itu Hamka menulis secara sempurna tentang bagaimana kejahatan yang dilakukan komunis tersebut dalam bukunya berjudul “Dari Hati Ke Hati.”

Indoktrinasi yang dipompakan dengan paksaan ke dalam jiwa dan mental umat Islam dengan menghabiskan biaya yang banyak. Amalan membenci Islam lebih aktif di saat Soekarno disokong oleh kaum komunis. Hamka juga menggunakan istilah makar terhadap orang PKI yang sememangnya merusak ketenteraman dalam masyarakat. Masih ada saksi hidup saat ini yang menyaksikan perbuatan makar orang komunis tersebut di kampung-kampung. Bahkan di Malaysia kekejaman komunis Cina yang menculik dan membunuh tanpa batu nisan umat Islam juga masih ada saksi hidupnya. Antara pembahasan yang dilakukan Hamka dalam buku tersebut adalah, Pancasila akan hampa tanpa Ketuanan yang Maha Esa, Pancasilais Munafik, Siapa Anti Pancasila sebenarnya. Golongan kiri yang sebahagian mereka telah diadili melalui pengadilan militer luar biasa secara terbuka dengan hukuman mati.

Saya melihat kandungan buku tersebut banyak kesamaannya dengan apa yang berlaku saat ini yang in Shaa Allah akan saya tulis pada bahagian selanjutnya.

Dulu saya memandang enteng perjuangan Alfian Tanjung, Kivlan Zein dan kawan-kawannya tentang komunis di Indonesia. Saya fikir itu hanyalah akal-akalan tentara yang ingin mengembalikan Indonesia sebagai sebuah negara militer karena setelah orde baru, posisi strategis militer jadi tersingkir dengan adanya penghapusan dwifungsi ABRI. Tentara ingin bangkit lagi dan saya sebagai pengkaji politik Indonesia menentang keras kebangkitan kembali militer di Indonesia karena; 1. Tidak ada negara yang maju dipimpin oleh tentara, 2. Rata-rata negara mundur di dunia adalah negara militer, 3. Hampir semua negara militer kacau balau haru biru, 4. Antara faktor kemajuan sesebuah negara adalah karena negara tersebut dipimpin oleh sipil yang cerdas-amanah, 5. Memimpin di tentara yang mottonya “siap grak!” tidak sama dengan memimpin dalam pemerintahan yang mewakili berbagai-bagai golongan, kelompok masyarakat dan 1001 alasan lainnya bahwa negara militer atau negara yang dipimpin oleh militer apalagi pensiunan sangat tidak baik. Saya tetap pada pendirian saya bahwa presiden ideal adalah dari golongan sipil yang cerdas-amanah bukan dari militer.

Saya menganalisa berbagai-bagai media selama ini, dan menemukan benang merahnya. Setelah reformasi 1998 air bah kebebasan merambas ke mana-mana dan tidak lagi mengikut aliran sungai biasa. Ia dimanfaatkan oleh berbagai-bagai kelompok, aliran dan golongan termasuk golongan kanan dan kiri seperti pengikut ideologi komunis untuk kembali bangkit di Indonesia. Yang Islamis terpaksa berjuang melalui media sendiri karena media mainstream biasanya tidak mendukung perjuangan mereka. Ini karena hidup matinya sebuah media mainstream bergantung pada sumber dana dan badan-badan dunia tidak mahu mendukung gerakan ini. Sementara aliran kiri mendapat tempat yang selesa karena dukungan keuangan yang kuat dari badan dunia yang mendukung gerakan mereka. Hipotesis ini juga nampak berkaitan dengan adanya puluhan ribu agen intelijen asing di Indonesia menurut berbagai-bagai sumber.

Mungkin benar juga kalimat yang mengatakan bahwa “ideologi tak pernah mati”. Para tokoh kiri sepuh yang seharusnya menikmati hari tua dengan taubat dan beribadah telah turun gunung menyerang setiap individu dan organisasi yang menyinggung ideologi mereka. Ini mengingatkan kita pada Yahudi yang menjadikan “holocaust” sebagai dasar perjuangan dan bahkan menzalimi orang dan bangsa lain dengan pondasi itu. Siapa saja dan dari negara mana saja yang meragukan eksistensinya akan diserang habis-habisan. Inilah yang disebut dengan ghazwul fikri perang pemikiran. Lalu saya fikir, inilah yang menjadi penyebab individu seperti oleh Taufiq Ismail, Kivlan Zein, Habib Rizieq Syihab sebagainya diserang selama ini.

Yang kita kasihan menjadi korban dari ideologi kiri ini adalah anak muda yang masih rentan suka ikut-ikutan serta tidak punya prinsip dan pegangan kukuh karena masih ingin merdeka tetapi membinasakan diri, keluarga dan bangsa.

Perang Timur vs Barat masih menyisakan dendam hingga ke hari ini, sehingga Pemilu atau Pilkada dua kekuatan ini masih mendominasi. Padahal jika kita masuk ke dalamnya kita akan jadi abu atau arang. Indonesia akan maju jika partai yang berkuasa setelah ini bukan lagi turunan orde lama mahupun orde baru karena dendam politik itu terlalu banyak menghabiskan energi serta lebih banyak mengedepankan emosi ketimbang rasional seperti kualitas SDM pemimpin, pendukung dan sebagainya.

Lalu apakah mereka itu saat ini pendukung rejim atau hanya sekadar emosi sentimen mereka dimanfaatkan oleh pendukung rejim? keduanya ada mungkinnya. Kalau kita kaji sejarah, apa yang berlaku hari ini adalah sebuah kelanjutan perang Barat dan Timur yang mana orde lama telah jadi pelanduk sebagai mangsa dua gajah yang bertarung. Di sisi lain, fusi gabungan partai politik tahun 1973 membuktikan bahwa PDI adalah gabungan dari PNI, Partai Murba, Partai Katolik, Perkindo & IPKI.

Jika di masa orde lama dan orde baru, media mainstream menjadi korban kehendak penguasa, maka pada zaman sekarang media sepertinya mengorbankan diri untuk menyenangkan penguasa. Media mainstream telah menjadi sebuah pergelutan persepsi, opini & kepentingan antara wartawan, pemilik media dan kapitalis yang mendanainya atas dasar keuntungan bisnes serta penguasa atas kepentingan demi mempertahankan status quo.

Di sisi lain, Islam memandang media mainstream sebagai naba` yang harus dikritisi kebenarannya. Jangan percaya apa yang anda dengar, percaya sedikit apa yang dilihat dan percayalah setelah diselidiki.

Insyaallah bersambung

Kajang, 25 June 2018

Dr Afriadi Sanusi MA

Artikel Terkait

Back to top button