SUARA PEMBACA

Otsus Ditolak, Tepatkah Referendum untuk Papua?

Suara tuntutan hak referendum atas tanah Papua semakin kencang menjelang pemberlakuan penerapan otonomi khusus jilid I akan berakhir di tahun 2021. Sejumlah mahasiswa Papua yang tergabung dalam komite Aksi Penolakan Otsus berunjuk rasa menolak penerapan otonomi khusus (Otsus) jilid II.

Seperti dikutip dari laman CNNIndonesia, Koordinator Lapangan Komite Aksi Penolakan Otsus Jilid kedua, Eto Rumpaday mengatakan aksi damai ditujukan untuk menolak rencana pemerintah Indonesia memperpanjang status otonomi khusus Papua yang akan habis pada tahun 2021. Aksi penolakan yang digelar di Jakarta ini berlangsung di Kemendagri karena massa hendak menemui perwakilan pemerintah. Tuntutan utama para mahasiswa adalah referendum untuk Papua, referendum adalah harga mati (14/7/2020).

Aksi serupa juga terjadi di Papua. Ratusan warga asli Papua di Manokwari, Papua Barat turun ke jalan mengusung sebuah peti hitam bertuliskan ‘Otsus mati’ sebagai simbol kegagalan khusus (Otsus) di daerah itu. Aksi protes itu pun berujung pada penandatangan petisi penolakan perpanjangan Otsus Papua yang akan berakhir pada 2021 mendatang.

Markus Yenu selaku koordinator aksi mengatakan berjalannya otsus papua selama 20 tahun [2001-2021], tidak ada manfaat langsung yang dirasakan rakyat kecil di Tanah Papua yang sesungguhnya objek tujuan Otsus Papua. Yenu juga menambahkan dalam orasinya agar tidak kaget kalau orang papua teriak minta merdeka itu artinya ada masalah yang belum diselesaikan atau disentuh Otsus selama 20 tahun ini (Papua no 1NewsPortal, 30/07/2020).

Sudah diketahui publik, semenjak dulu wilayah Papua Timur Indonesia menginginkan referendum. Bahkan, setiap papua bergolak pasti ujung-ujungnya ingin merdeka. Hanya saja, Pemerintah Indonesia memberikan solusi politik penerapan otonomi khusus terhadap Papua. Sayangnya Otsus jilid 1 nampaknya gagal mengintegrasikan bumi cendrawasih ini terpadu dengan Indonesia. Lantas apa penyebab kegagalan Otsus jilid 1? Tepatkah referendum Papua sebagai solusi selamatkan Papua?

Akar Masalah Kegagalan Otsus

Pemberlakuan Otonomi khusus terhadap provinsi Papua melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 sejatinya lahir sebagai solusi politik yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia agar masyarakat Papua tidak lagi menuntut ingin menentukan nasibnya sendiri (self determination). Dengan kebijakan pemberian Otsus, Papua memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumber daya. Melalui UU otonomi pula lah Provinsi Papua dan Papua Barat mendapat dana bagi hasil sebesar 70% untuk pertambangan minyak bumi dan gas alam. Relevansinya, bila suatu daerah telah diberikan kewenangan khusus, maka diharapkan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan, memperbaiki kualitas hidup baik layanan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar hidupnya yang lain.

Namun jauh panggang dari api. Selama 20 tahun otsus berjalan, kesejahteraan masih rendah belum mampu meningkatkan layanan publik. Meskipun dana otonomi daerah khusus cukup tinggi. Tercatat total yang dicairkan pemerintah untuk papua dan papua barat sebesar Rp 126.99 triliun pada periode 2002-2020. Kucuran dana yang besar tersebut nyatanya tidak berbanding lurus dengan kondisi kesejahteraan masyarakat Papua.

Sebagai wilayah yang menyimpan sejuta pesona alam, nyatanya menempatkan papua sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Dimana 28 persen masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, tingkat kematian bayi terparah, dan kemampuan membaca terburuk di Asia. Badan pusat statistik (BPS) per januari 2019 mencatat angka kemiskinan tertinggi terjadi di Papua 26,5 persen dan Papua barat 21,51 persen. Pendidikan menjadi barang mewah dan hanya sekolah sampai lulusan sekolah dasar. Angka buta huruf papua masih menempati posisi tertinggi 21,9 persen, di atas NTB 7,46 persen dan NTT 4,24 persen.

Terkait kesehatan, sebanyak 1050 anak di provinsi papua dilaporkan dengan kondisi gizi buruk hingga november 2019. Jumlah ini berdasarkan hasil pencatatan pelaporan gizi berbasis masyarakat dari 400 puskesmas di Papua, senin (2/12/2019). Kondisi geogragfis dan minimnya fasilitas kesehatan acapkali dijadikan dalih sebagai kendala pemberian layanan kesehatan. Sehingga tidak terbantahkan lagi, cukup menjadi bukti bahwa standar pelayanan minimal kesehatan bagi masyarakat Papua memang selama ini belum terpenuhi dengan baik.

Berbicara kemiskinan rakyat Papua, tentunya kondisi ini terjadi bukan tanpa sebab. Seharusnya kesejahteraan mudah diwujudkan di bumi Papua yang kaya emas. Namun karena pengelolaan sumber daya alam Papua diserahkan kepada asing inilah awal sebuah bencana. Secara legal pemerintah mengijinkan PT Freeport Indonesia (FI) di bawah kontrak karya untuk melakukan penambangan di Papua, harapannya mampu membuka lapangan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi Papua. Sayangnya semua itu hanya mimpi, PTFI hanya mengeruk habis kekayaan Papua, sementara rakyat Papua gigit jari. Efek pembangunan tak dirasakan oleh rakyat Papua, malah tanah rakyat Papua terampas oleh aktivitas eksploitasi yang ganas. Lapangan pekerjaan yang dijanjikan pun tidak menyerap sepenuhnya tenaga warga asli Papua, hingga detik ini mayoritas warga asli papua bermata pencaharian petani. Parahnya lagi, akibat pembangunan yang memusat di Jawa, semakin membuat rakyat Papua merasa dianaktirikan oleh negara. Di Tengah-tengah gunung emas, kantong-kantong kemiskinan rakyat Papua terpampang nyata. Masihkah menjadi dalih akses fasilitas dan infrastruktur sulit diwujudkan untuk rakyat Papua?

Belum lagi, sistem desentralisasi juga dimanfaatkan para birokrat untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah untuk kemudian dijadikan ‘lahan basah’. Fenomena rent seeking behavior pada elite-elite lokal telah mengarah pada perilaku rakus yang dibungkus seolah olah untuk kepentingan negara. Sementara di saat rakyat Papua menuntut hak hidup sejahtera, menuntut hak atas kesewenang-wenangan yang ada (pembangunan justru menciptakan konflik), ternyata malah diperlakukan oleh pemerintah dengan tindakan represif. Pemerintah daerah bukannya menerapkan kebijakan dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Tetapi realitanya justru membuat ketidapercayaan antara masyarakat Papua dengan pemerintah daerahnya semakin menguat.

Selain itu, otonomi khusus juga meningkatkan tingkat penyelewengan yang tinggi. Kucuran dana yang cukup besar, tidak terdistribusi merata. Beberapa pemegang kekuasaan justru memanfaatkan kelimpahan dana tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Dengan otonomi khusus pula menjadikan pusat tidak bisa mengawasi secara detail apa yang terjadi di daerah.

Inilah konsekuensi logis ketika diterapkan sistem kapitalis demokrasi, birokratokrasi dan korporatokrasi menjadi ciri khas sistem bobrok ini. Sistem ini pula lah yang melegalkan konspirasi perampokan sumber daya alam Indonesia oleh siapapun, bahkan oleh asing sekalipun termasuk Amerika yang bersekongkol dengan penguasa. Ketika otonomi khusus telah jelas gagal meningkatkan kesejahteraan, lantas apakah tuntutan referendum menjadi solusi Papua keluar dari kemiskinan?

Berbicara referendum, sudah menjadi bukti lepasnya Timor Timur seharusnya menjadi pelajaran. Kini Timor Timur menjadi negara miskin dan malah berada di bawah ketiak Asing. Keinginan mereka sebelumnya untuk bisa mandiri dan kuat serta sejahtera, hanyalah isapan belaka. Australia kini justru yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari kemerdekaan Timor Timur dengan memperoleh ladang migas, sementara Timor Leste kini menggantungkan diri dari utang luar negeri. Lepasnya Timor Timur pun tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi. Sistem demokrasi inilah yang sebenarnya melemahkan integrasi wilayah-wilayah, dengan disintegrasi Barat berupaya melemahkan indonesia. Dengan disintegrasi pula lah, barat akan diuntungkan secara politik. Maka, bukan hal mustahil jika referendum Papua terjadi, Papua pun akan bernasib sama dengan Timor Timur yang kini menjadi negara miskin.

Maka sangat jelas kegagalan otsus dan referendum bukanlah solusi tepat atas permasalahan Papua terlepas kemiskinan. Selama kapitalisme demokrasi dijadikan pijakan sistem politik maka kesejahteraan selamanya akan menjadi barang mewah untuk diwujudkan.

Ummu Nafra
(Pengusaha dan Pegiat Literasi)

Artikel Terkait

Back to top button