NUIM HIDAYAT

Pajak dan Gaya Hidup Pejabat yang Merusak Ekonomi Negara

Kisah ini terjadi ketika Sultan al-Dhahir Baybars (abad ke-13 M), penguasa Dinasti Mamluk di Mesir dan Syam bertahta. Saat itu Sultan ingin menggunakan dana besar dari Baitul Mal untuk membangun istana megah dan proyek-proyek mewah yang bersifat pribadi.

Para ulama banyak yang tidak berani menentang Keputusan Sultan itu. Tapi Imam Nawawi beda. Ia menolak menandatangani fatwa yang membolehkan penggunaan dana itu.  Ia menegaskan bahwa harta Baitul Mal adalah milik umat, hanya boleh dipakai untuk kemaslahatan umum: kebutuhan fakir miskin, gaji tentara yang menjaga negeri, pembangunan fasilitas publik, dan penegakan keadilan.

Imam Nawawi berkata kepada Sultan, “Aku tidak memberi fatwa untuk sesuatu yang tidak menjadi hakmu. Engkau dulu seorang budak, kini Allah memberimu kekuasaan; janganlah engkau gunakan harta kaum Muslim untuk kemewahanmu.” Sultan kemudian marah dan memecat Imam Nawawi dari jabatannya sebagai guru di Darul Hadits an-Nuriyyah. Imam Nawawi tidak mundur dari pendirian, bahkan memilih kembali ke desa asalnya di Nawa, Suriah.

Hasan al-Bashri (w. 110 H) pernah mengkritik al-Hajjaj bin Yusuf, gubernur yang terkenal zalim, karena membelanjakan harta rakyat untuk membangun istana yang megah di Irak. Hasan al-Bashri mengirimkan nasihat tertulis yang menegur gaya hidup mewah penguasa, mengingatkan bahwa penguasa hanyalah penjaga amanah harta rakyat.

Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) punya sikap yang tegas terhadap pajak.  Ketika penguasa Mamluk menarik pajak tambahan untuk membiayai perang, Ibnu Taymiyyah menolak jika pajak itu diambil sementara ada harta cukup di Baitul Mal. Ia menegaskan bahwa pungutan ekstra hanya boleh jika kas negara kosong dan kebutuhan militer adalah demi pertahanan agama dan negara, bukan ambisi pribadi. Beberapa pejabat marah saat itu, tapi nasihatnya membuat pajak itu dibatalkan di sejumlah wilayah.

Permasalahannya di negeri kita, para pemimpin negeri ini kebanyakan tidak mengenal ekonomi Islam. Mereka hanya mengenal ekonomi Barat, karena pendidikan di kampus yang diperolehnya. Sehingga mereka terus menerus hingga kini masih mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara.

Ekonom Barat, karena tidak mengenal al Quran, maka mereka tidak mengenal konsep zakat, sedekah dan wakaf. Karena itu mereka melahirkan teori pajak yang kini dipraktekkan di sebagian besar negara di dunia.

Negeri kita yang mayoritas Islam, harusnya berani secara revolusioner mengubah kebijakan ekonomi ini. Tapi selama para eksekutifnya tidak mengenal Islam, mereka tidak akan mempraktekkan ekonomi Islam.

Di samping sistem ekonomi yang perlu diubah, para pelaku ekonomi atau pemimpin juga harus mengubah gaya hidupnya. Selama gaya hidup pemimpin di negeri ini, baik di pusat maupun daerah rakus bergelimang dalam kemewahan, negeri ini juga tidak akan menjadi adil dan makmur.  Karena kekayaan negara akan disedot lebih dulu oleh para pejabat sebelum ke rakyat. (Baca: Rakus).

Bila di masa khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, kekayaan negara berlimpah dan para pemimpin hidup sederhana, kini di negeri kita terjadi sebaliknya. Para pejabat banyak yang bermewah-mewah, sementara kekayaan negara kosong bahkan minus. Sehingga jumlah rakyat yang miskin di negeri kita, menurut Bank Dunia adalah 60 persen.

Kapan negeri kita akan berubah? Wallahu alimun hakim. []

Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button