Pandangan Hukum Terkait Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Kepala Desa (Kades) menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menjalankan perannya, mereka dibantu oleh perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Berdasarkan Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa Kades bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Dilansir dari media tempo.co, para Kepala Desa alias Kades menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, pada Selasa pekan lalu, 17 Januari 2023. Mereka menuntut agar pemerintah dan DPR RI merevisi Undang-Undang tentang Desa. Dalam aksinya, mereka menuntut masa jabatan Kepala Desa yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun per periode.
Selain itu, ada juga tuntutan agar pemerintah memperbesar alokasi dana desa. Berpijak pada Pasal 39 tentang Desa : Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kemudian berangkat dari permasalahan diatas para kades menilai bahwa waktu enam tahun belum cukup untuk membangun desa, sehingga butuh waktu lebih lama lagi, yakni sembilan tahun untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jika kita lihat dari sisi positifnya, ketika masa jabatan kepala desa tersebut diperpanjang menjadi 9 tahun, maka kemungkinan biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) menjadilebih efisien dan pembangunan desa akan lebih maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Menurut para Kades waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk pembangunan desa secara maksimal karena perlu penyesuaian pasca pilkades membutuhkan waktu cukup lama agar situasi kembali kondusif.
Namun pada dasarnya hukum haruslah mencerminkan suatu kepentingan dan perasaan keadilan rakyat. Oleh karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa yang akan melahirkan negara hukum yang totaliter (Bintan R.Saragih, 2014:11-12). Hukum tertinggi di suatu negara adalah produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari seluruh rakyat, yaitu Kontitusi.
Dengan demikian aturan dasar penyelenggaraan negara yang harus dilaksanakan adalah konstitusi. Semua aturan hukum lain yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Hal ini karena aturan hukum yang dibuat dengan mekanisme demokrasi tersebut adalah produk mayoritas rakyat, sedangkan konstitusi adalah produk seluruh rakyat.
Ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 tahun, bukanlah merupakan suatu persoalan konstitusionalitas, terlebih apabila kita bandingkan dengan periode masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih dengan secara langsung, yakni hanya ditentukan 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan, sehingga jika menjabat 2 kali masa jabatan menjadi maksimal 10 tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 tahun. Oleh karena itu, seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika terpilih kembali.
Melihat dari sisi negatifnya jika kita analogikan Kepala Desa 9 tahun kemudian indikasi apabila masyarakatnya percaya maka akan dipilih lagi sehingga masa jabatan Kades adalah maksimal 27 tahun. Terlalu lama untuk re-generasi, tidak sejalan dengan percepatan dinamika perubahan dan digital informasi. Hal ini akan menimbulkan suatu persoalan baru, akan ada potensi risiko besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena, semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat.
Dengan begitu, menjadikan kekuasan menjadi lebih absolut. Terlebih pada tuntutan perpanjangan masa jabatan Kades ini belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praktis yang mendasarinya. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketua Firli Bahuri yang menyatakan bahwa di 601 desa terdapat 686 pihak perangkat desa dan Kades yang terlibat dalam kasus korupsi sejak tahun 2012 hingga 2021. Firli juga menyebutkan bahwa pemerintah telah meluncurkan dana desa sebesar 470 Triliun sepanjang 7 tahun dari 2015 hingga 2022 yang diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan serta memperbaiki perekonomian masyarakat desa. Akan tetapi data terbaru menunjukan bahwa 12,29% masyarakat terjebak kemiskinan.