Pandangan Menarik Prof. Rasjidi tentang Moralitas
Pada Konferensi Perhimpunan Filsafat Indonesia, 13-16 Januari 1972 di Jakarta, Prof Dr Rasjidi diminta menyampaikan materi tentang Agama dan Etika.
Dalam kesempatan itu, Prof Rasjidi menyampaikan bahwa moralitas itu adalah mutlak diperlukan manusia. Bila moral dalam Islam sifatnya tetap, menurut Barat moral itu relatif. Ada beberapa teori tentang moralitas menurut Rasjidi:
Teori Pertama, teori yang berdasarkan biologi, yakni teori Darwin (1809-1882), ‘survival the fittest’, kelangsungan hidup bagi yang paling tepat. Sesungguhnya teori ini adalah teori yang sangat mudah ditolak, karena arti teori tersebut adalah bahwa di dunia ini kita beradu kekuatan. Kebenaran, hak, yang baik adalah yang kuat. Sesuai dengan ajaran Darwin, kita dapatkan pula Nietzsche (1844-1900) yang mengagung-agungkan superman, orang yang serba luar biasa kekuatannya.
Teori Kedua, yaitu teori yang berdasarkan sosiologi. Teori ini menyatakan bahwa baik (good) bukan suatu nilai yang mutlak, tetapi tiap-tiap nilai yang baik bagi masyarakat, dan oleh karena itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat. Teori yang berdasarkan sosiologi ini jauh lebih riil. Morality tidak dapat dipisahkan daripada masyarakat dimana kita hidup semenjak kita lahir di dunia. Dengan melihat pengaruh-pengaruh masyarakat kepada etika, akan lebih mudah bagi kita untuk membedakan antara morality an sich dan aplikasi (pelaksanaan).
Akan tetapi harus kita ingat bahwa kemajuan kita dalam etika adalah dipelopori orang-orang yang memberontak terhadap masyarakat, seperti Socrates, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Jadi bukan masyarakat yang menentukan nilai akan tetapi orang-orang besar, para ahli fikir dan para Nabi. Kita selalu dapat melihat bahwa morality itu berdiri sendiri, tidak tergantung daripada masyarakat. Selalu ada orang yang berani bicara, atau menulis, mengritik masyarakat yang ada.
Teori Ketiga. Teori ini berdasarkan psikologi. Sigmund Freud (1856-1939) telah menemukan apa yang dinamakan subconscious (di bawah kesadaran). Segala sesuatu daripada tindakan-tindakan kita adalah timbul dari pengendapan pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah.
Pengaruh daripada subconscious memang ada, akan tetapi apakah sebesar yang digambarkan oleh Freud dan teman-temannya, sehingga tidak ada lagi apa yang dinamakan: kehendak yang merdeka (free will)?
Teori Keempat. Teori ini mengatakan bahwa morality adalah kebiasaan, customs, tradisi, sehingga merupakan hal yang berganti-ganti menurut tempat, zaman, iklim dan sebagainya. Hal ini memang dapat dimengerti jika kita membatasi diri dalam pelaksanaan (aplikasi) daripada morality, tetapi tidak mengenai morality sendiri.
David Hume (1711-1776) yang telah kita kenal sebagai seorang empiris, yaitu orang yang percaya bahwa yang ada itu hanya yang dapat dirasakan dengan panca indera, mengatakan bahwa tindakan itu benar jika menimbulkan rasa persetujuan dari kebanyakan orang. Tetapi keterangan Hume tersebut sangat mudah dibantah. Sering sekali mayoritas memberi suatu nilai kepada tindakan, akan tetapi terdapat individu yang memberi nilai yang sebaliknya. Nilai moral bukan nilai mayoritas atau minoritas.
Teori kelima. Teori yang didasarkan atas Filsafat semata-mata ini, mengatakan bahwa sesuatu ‘moral code’ sama saja dengan lainnya. Ini adalah taste (rasa) kita dapat memilih Etika A dan menolak Etika B. Suatu etika di Irian Barat untuk menyusu dari nyonya rumah sebagai penghormatan sama baiknya atau sama jeleknya dengan mencium tangan seorang wanita Barat sebagai tanda kehormatan.
Bertrand Russel mengatakan bahwa ia tidak dapat menolak ajaran-ajaran Nietzsche tentang superman atas dasar filsafat, oleh karena ajaran itu merupakan ‘self consistent system’ (suatu sistem yang mengandung etika). Tetapi Bertrand Russel mengatakan bahwa ia menolak ajaran tersebut karena ia tidak suka.
Teori-teori yang berdasarkan filsafat itu disajikan oleh sekelompok sarjana yang biasanya disebut Logical Positivists. Mereka ini berpendapat bahwa hukum nilai (value judgement) sama dengan perkataan ‘saya suka minum teh dengan gula’, yakni suatu keterangan yang harus diterima dengan tidak perlu dipersoalkan lagi. Tetapi ‘moral judgement’ berlainan dengan ‘value judgement’ yang kami contohkan di atas karena: