NUIM HIDAYAT

Pandangan Menarik Prof. Rasjidi tentang Moralitas

a. Suka dan tidak suka (likes and dislikes) tidak selalu identic dengan value judgement.
Kita mungkin tidak suka menghukum anak kecil, akan tetapi kita setuju akan adanya sesuatu hukuman bagi anak kecil. Perbedaan antara tidak suka dan setuju akan menambah keinsafan kita tentang perbedaan baik (good) dan benar (right). Memang biasanya kewajiban-kewajiban moril itu terlalu berat untuk disukai. Tetapi justru karena beratnya itu maka kita harus taati.

b. Perbedaan antara pernyataan ‘suka dan tidak suka’ serta moral judgement dapat dirasakan dan diperbincangkan. Memang kalau si A suka baju abu-abu, dan si B suka baju biru kita tidak dapat bilang apa-apa. Tetapi kita tidak dapat berkata: bicara bohong lebih baik daripada bicara benar. Kadang-kadang dalam keadaan yang khusus memang mungkin sekali bahwa bicara bohong lebih baik daripada bicara benar.

Pernyataan bahwa membunuh itu adalah immoral, sama sekali tidak merupakan pernyataan taste (suka atau tidak suka) dan juga tidak merupakan hasil pemikiran yang subyektif.

Dengan keterangan tersebut di atas, skepticism tentang moral tidak dapat dipertahankan. Skepticism dalam moral berarti bahwa pandangan seseorang tentang moral merupakan urusan pribadi, karena konsep konsep benar (right) dan baik (good) tidak dapat diberi definisi. Tiap-tiap orang memakai kata-kata tersebut dengan arti yang ia isikan sendiri. Hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, setelah kita melihat contoh-contoh di atas. Membunuh, mencuri oleh siapa saja dipandang sebagai suatu hal yang jahat.

Perlu dikatakan disini bahwa skepticism adalah menarik. Skepticism dapat dipakai untuk mengelakkan tanggungjawab. Tapi bagaimanapun menariknya, orang yang mengetahui moral tetap tidak akan terpedaya.

Teori Keenam. Dalam kehidupan sehari-hari terasa bahwa tentang ‘relativity’ dalam moral adalah teori yang didasarkan atas materialism. Orang terpengaruh oleh teori tersebut sebegitu jauhnya, sehingga mereka tidak lagi menganggapnya sebagai teori, tetapi sebagai praktik yang realis (realistic practice).

Teori materialist, atau dalam bahasa lain, aliran utilitarianism (mazhab manfaat), mengatakan bahwa tujuan morality adalah ‘the greatest happiness of the greatest number of sentient being’, kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi jumlah sebesar mungkin dari makhluk-makhluk yang mempunyai rasa. Sepintas lalu memang susunan kata-kata itu menarik dan tujuannya memang bersifat perikemanusiaan (human). Tetapi jika kita selidiki lebih dalam, kita akan melihat bahwa teori tersebut mengelakkan problema yang pokok. Kebahagiaan (happiness) yang dimaksudkan itu tidak pernah diterangkan.

Sebagai manusia biasa kita ingin selalu bahagia, selalu menndapat nasib baik. Tetapi apa sesungguhnya nasib baik itu? Apakah sekedar mengambil sikap mementingkan diri sendiri (selfish) dan bertindak atas dasar itu dengan tidak merasa malu-malu lagi? Atau barangkali ia merasa perlunya pura-pura mengikuti sesuatu moral code, atau mengikuti pengarahan conscience.

Pengikut aliran materialis selalu mementingkan harta benda. Menurut sejarah timbulnya, filsafat materialis lahiir untuk persamaan manusia (equality of men), cinta kepada mereka yang kekurangan (love for underprivileged) dan menegakkan keadilan bagi semua. Tetapi dalam taraf sekarang umumnya manusia, baik di Barat maupun di Timur menekankan penilaian mereka terhadap ‘material achievements’. Kemajuan teknik, tambahnya produksi dan tambahnya kekayaan adalah yang dipentingkan oleh pengikut aliran materialis. Tetapi jika hal-hal tersebut dijadikan tujuan hidup, manusia akan menurun derajatnya, karena manusia tidak hanya hidup dengan roti, atau bahan makanan jasmani saja.

Teori Ketujuh. Teori yang terakhir adalah teori idealis. Teori ini mengarah kepada pengakuan bahwa moral itu absolute (mutlak). Akan tetapi pengikut teori ini hanya mengikuti arah tersebut sampai pertengahan jalan, sehingga hasilnya juga tidak memuaskan. Teori idealis menerima akan adanya tiga nilai mutlak (three absolute values)), yaitu kebenaran (truth), kebaikan (goodness) dan keindahan (beauty). Ini adalah salah satu daripada usaha untuk menegakkan humanism dan menolak Agama.

Para penganut teori idealis (ahli filsafat eksistensialis) juga menganggap bahwa morality itu relative. Karena mereka terdorong menjadikan nilai nilai mutlak mereka selfsufficient (mencukupi diri sendiri). Mereka mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik dan kejahatan itu hanya sekedar dilakukan oleh sekelompok kecil manusia.

Keyakinan saya, manusia itu mempunyai dua kemungkinan, untuk kebaikan dan untuk kejahatan. “Dan demi Jiwa dan Zat yang menjadikannya, kemudian memberi ilham kepadanya, baik yang jahat maupun yang takwa.” (QS. Asy Syams: 7-8).

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button