Pandora Papers, Menguak Borok Pejabat Negara?
Pandora Papers tengah menjadi sorotan dunia. Dokumen rahasia yang dihimpun oleh Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) ini disebut menjadi skandal penghindaran pajak terbesar sepanjang sejarah manusia. Lewat Pandora Papers, 600 jurnalis dari 117 negara membeberkan aset tersembunyi para pemimpin dan konglomerat dunia di perusahaan cangkang.
Lebih dari 35 pemimpin negara, 330 politisi di 90 negara, dan 130 miliarder tercatat di dalam Pandora Papers. Di Indonesia, nama dua menteri Kabinet Indonesia Maju, yakni Luhut B. Pandjaitan dan Airlangga Hartanto juga tercatat dalam laporan tersebut. (katadata.co.id, 9/10/2021).
Tercantumnya dua nama menteri Kabinet Indonesia Maju dalam Pandora Papers, tak ayal lagi menambah borok pemerintah. Di tengah gencarnya tuan penguasa merevisi sejumlah aturan demi memeras pajak dari rakyat, dua menterinya justru kedapatan menghindari pajak. Alih-alih menjadi teladan rakyat untuk taat pajak, tuan pejabat justru menambah daftar panjang aib pejabat negara.
Pandora Papers tidak hanya menguak nama-nama para pemimpin dan konglomerat dunia yang mengemplang pajak, tetapi juga membuktikan betapa buruk dan sengkarutnya penerapan pajak ala kapitalisme. Di Indonesia misalnya, berbagai penyesuaian pajak tengah digodok demi meningkatkan pemasukan lewat pajak. Sebutlah Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang tengah dibahas pemerintah dengan DPR. Revisi UU KUP ini memuat pajak bahan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang jelas makin mencekik rakyat.
Namun di sisi lain, pemerintah malah memberikan angin segar bagi para penghindar pajak. Terbaru, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam paripurna DPR pada Kamis (7/10). UU HPP ini memberikan keringan bagi para penghindar pajak melalui potongan denda dan sanksi administrasi yang lebih rendah.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bahkan menyebut, dalam UU HPP ini, pemerintah tidak akan memidanakan penghindar pajak yang tidak taat, meskipun kasusnya sudah sampai ke pengadilan. Para penghindar pajak hanya cukup mengganti kerugian negara, dan ditambah sanksi sesuai peraturan yang berlaku. (Kompas.tv, 8/10/2021).
Jelas, penerapan aturan pajak tidak hanya makin mencekik rakyat kecil, tetapi juga makin diskriminatif. Rakyat kecil ditarik pajak habis-habisan, sedangkan tuan pejabat dan konglomerat justru diberi keringanan dan pengampunan. Bahkan berbagai cara cantik pun ditempuh demi menghindar pajak, termasuk mengalihkan aset kekayaan ke negara surga pajak. Negara surga pajak ini pun menjadi rute utama untuk mengalirkan hasil pencucian uang ke negara-negara berkembang.
Alhasil, rakyat kecillah yang benar-benar tercekik pajak, sedangkan tuan pejabat dan konglomerat bebas menghindar pajak. Ironisnya, tidak hanya menguras gas, minyak bumi, dan tambang milik rakyat secara habis-habisan; tuan pejabat dan konglomerat ini justru menjadi pelaku utama mengemplang pajak. Gencar merevisi berbagai kebijakan pajak, kencang berteriak untuk taat pajak, nyatanya hanya lips service belaka.
Dalam paradigma kapitalisme, pajak menjadi sumber utama pemasukan negara. Tidak heran, jika tuan penguasa terus memutar otak, berpikir kreatif untuk menarik pajak. Di sisi lain, tuan penguasa merupakan fasilitator dan regulator bagi kepentingan para konglomerat, untuk menguras aset kekayaan rakyat. Tidak heran jika berbagai regulasi yang ada lahir demi melayani kepentingan para cukong, mulai dari undang-undang investasi, pengelolaan tambang dan mineral, kelistrikan, hingga perpajakan.
Dalam naungan kapitalisme, tuan penguasa nyata menjadi pelayanan bagi para cukong konglomerat. Mengabaikan dan melalaikan perannya sebagai pelayan rakyat. Berbagai kebijakan yang dihasilkan pun kerap diskriminatif, tebang pilih, dan menyengsarakan rakyat. Alhasil, rakyat membutuhkan sebuah sistem yang adil dan menyejahterakan. Sistem ini tidak lain adalah Islam.