Partai Islam Minus Ideologi: Berkaca pada Mohammad Natsir
Mungkin bila Mohammad Natsir masih hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, dia akan sangat berduka dengan semakin menipisnya kekentalan ideologis yang dimiliki oleh sebagian besar partai-partai yang bernuansa Islam maupun yang jelas-jelas berasaskan Islam dalam AD/ART-nya. Bagaimana tidak, partai-partai yang berasaskan Islam maupun bernuansakan Islam, akhirnya banyak yang lebih melihat aspek-aspek yang terkait dengan pilihan non-ideologis daripada aspek ideologis ketika berkoalisi dengan partai-partai yang mengusung capres-cawapres.
Ada baiknya kita berkaca kembali kepada pemikiran politik dari Mohammad Natsir sebagai founding father Republik Indonesia maupun ketua partai politik Islam Masyumi dalam memperjuangkan Islam untuk dapat diterima sebagai sebuah “ruh” di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Pertama, bagi M. Natsir, Negara tidak lebih dari sebuah “alat” untuk melaksanakan perintah-perintah Allah SWT, hal ini jelas sekali nampak ketika M. Nastir berpidato dalam sidang-sidang konstituante. Beliau dengan meyakinkan dapat memaparkan universalitas Islam sebagai agama yang tidak hanya berkaitan dengan masalah ritual semata tetapi juga berkaitan dengan masalah – masalah sosial politik. Natsir mampu menguraikan konsep Islam sebagai agama dunia maupun akhirat termasuk didalamnya mengatur masalah kekuasaan/politik.
Islam sebagai sebuah way of life bukan Islam sebagai agama ritual pribadi semata. Konsep Islam sebagai way of life ini dapat membuat institusi kapitalisme maupun sosialisme menjadi lumpuh. Sehingga para pendukung institusi kapitalisme/sosialisme selalu menjadikan kelompok atau organisasi agama “ritual” menjadi teman yang sesuai untuk melawan konsep Islam sebagai “way of life” ini. Natsir paham benar rekomendasi Snouck Hugronje kepada pemerintah Hindia Belanda sehingga beliaupun memberikan peringatan kepada ummat bahwa Islam ibadah (ritual) akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi tapi Islam berpolitik akan dicabut dari akar akarnya.
Kedua, M. Nastir mengingatkan tidak boleh adanya dikotomi antara program partai dengan ideologi, karena menurut M. Natsir Ideologi dan program adalah two sides of the same coin, dua sisi dari satu mata uang yang sama. Karena manusia bukan robot, ia tidak mungkin hidup hanya dengan ideologi tanpa program atau hanya dengan program tanpa ideologi.
Hal ini terlihat kontras dengan kondisi parpol-parpol Islam sekarang, partai-partai Islam lebih melihat program-program an sich tanpa mempertimbangkan faktor ideologis dalam menjalin koalisi yang dibangun. Jarang kita lihat partai partai Islam mengkritisi sebuah program kebijakan pemerintah dengan alasan ideologis. Justru yang sering kita dengar malah kritikan yang tidak jauh berbeda dengan kritikan dari partai partai sekuler/nasionalis. Biasanya kritikan lebih berdasarkan dimensi keduniawian atau materialisme seperti angka angka indikator ekonomi daripada pertimbangan moral agama.
Sehingga tidak aneh, jika banyak ummat Islam makin sukar membedakan jenis kelamin partai partai Islam maupun partai partai Sekuler. Tidak ada lagi dimensi perjuangan menegakkan yang hak dan melawan kebatilan karena khawatir terhadap keamanan atau tekanan dari rezim yang berkuasa. Partai partai Islam akhirnya hanya menjadi pemanis untuk menaikkan citra kepada Capres tertentu agar terlihat lebih “Islami”. Jangan berharap kita bisa temukan kembali suasana seperti ketika partai Masyumi dulu masih ada, dimana rezim yang berkuasa tidak mudah tidur nyenyak karena kegigihan para politisi Masyumi untuk mengkritisi program program atau kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan nilai nilai kebenaran.
Ketiga, politik adalah “etika yang tinggi”, bagi M. Natsir, politik adalah sebuah seni yang memerlukan kehalusan dan keindahan tersendiri. Kita harus mencapai sasaran tanpa lawan-lawan merasa terkalahkan, politik haruslah ditundukkan kepada etika yang tinggi. Dengan cara itu, keinginan untuk berkuasa sendiri dan menghabisi orang-orang yang tak sepaham dengan menghalalkan segala cara harus dihindari. Hal ini beliau praktikkan dengan lobby-lobby dua setengah bulan lamanya untuk menghubungi negara-negara bagian, agar membubarkan diri dan bersatu kembali dengan negara kesatuan Republik Indonesia sehingga tercetuslah apa yang kita kenal sebagai “Mosi Integral” Mohammad Natsir.
Keanehan justru terjadi pada sebagian besar partai-partai Islam pada saat ini, rezim yang jelas jelas punya track record sering menghabisi lawan politiknya dengan persekusi, kriminalisasi maupun kebijakan resmi (seperti melarang ormas tertentu melalui Peraturan Pemerintah) justru malah didukung dan dicari justifikasi pembenaran sesaat untuk menunjukkan seakan akan rezim telah berubah. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia. Tindakan partai-partai Islam mendukung rezim saat ini adalah sebuah penghianatan terhadap perjuangan ummat Islam dalam menumbangkan rezim pendukung “penista agama”. Aksi 212 tidak dapat dipandang sebelah mata dan itu adalah refleksi dari perlawanan sebagian besar umat terhadap rezim yang ada saat ini. Mungkin partai-partai Islam yang mendukung rezim saat ini lupa tentang pelajaran sejarah yaitu tidak ada tempat untuk para penghianat.
Keempat, M. Natsir sangat menekankan pentingnya berpolitik untuk menjadi sarana dakwah, sehingga perilaku politik harus sesuai dengan karakter dakwah, bukan karbitan, inkonsistensi dan tak punya arah. Nastir juga sangat anti terhadap cara-cara politik meniru-niru atau ”ikut arus” saja yang kemudian pada akhirnya mencampuradukkan antara yang benar dengan yang busuk/salah. Politik dengan bingkai dakwah tidaklah harus selalu menang, karena politik dalam bingkai dakwah hanyalah sebuah ”proses” sedangkan kemenangan hanyalah masalah waktu (bisa di dunia ataupun di akhirat).