OPINI

Partai Politik: Penjaga atau Penghancur Ideologi Bangsa?

Idealnya, kelompok – kelompok yang merasa kecewa dengan sikap dan kebijakan pemerintah yang sedang berjalan dapat di artikulasikan dan di agregasikan melalui Partai Politik yang dianggap paling mewakili konstituen mereka. Adanya seri demonstrasi secara besar besar-an dan terus berulang (Parlemen Jalanan) menandakan fungsi Partai Politik tidak berjalan semestinya. Massifnya Parlemen jalanan adalah indikasi bahwa sistem demokrasi di negara tersebut tidak sehat. Partai Politik tidak boleh terkooptasi dengan sikap dan kebijakan pemerintah tanpa ada ruang untuk memberikan masukan yang berbeda. Partai Politik seharusnya berdiri antara rakyat dan eksekutif untuk menjembatani “kebuntuan – kebuntuan” yang terjadi, bukannya menjadi satu tim dengan eksekutif.

Kedua, Partai Politik mengumpulkan orang-orang yang satu cita-cita atau se-ideologi yang meyakini bahwa cita-cita atau ideologi mereka dapat memperbaiki kondisi bangsa ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, pada awal kemerdekaan Indonesia, semua ideologi dibolehkan bertarung untuk dapat berkuasa termasuk ideologi Komunis. Tetapi ternyata Partai Komunis melakukan kegiatan yang melanggar hukum melalui apa yang kita kenal dengan peristiwa G 30 S/PKI sehingga bangsa Indonesia melakukan konsensus untuk melarang ideologi tersebut melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Islam sebagai ideologi politik juga menjadi sah untuk diperjuangkan apalagi telah dibuka jalannya oleh Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 tentang Piagam Jakarta menjiwai konstitusi Indonesia.

Partai Politik secara teoritis memang didirikan untuk mewakili kepentingan ideologi yang berbeda, kita dapat melihat secara jelas pada Pemilu di Indonesia tahun 1955, dimana warna ideologi Partai Politik terlihat jelas, yaitu gradasi antara Kubu Nasionalis, Islamis dan Komunis. Hari ini, ketiga warna ideologi ini nampaknya semakin kabur, karena sistem pemilu yang sangat liberal dimana calon legislatif boleh dipilih secara langsung. Hal ini hanya menjadikan Partai Politik seperti “kendaraan sementara” yang akan ditinggalkan setelah mereka menduduki kursi parlemen. Anehnya, cara seperti ini digunakan pula oleh Partai Politik yang dikenal sebagai Partai Kader Militan.

Idealnya para pemilih dalam pemilihan umum harusnya hanya memilih Partai Politik yang dianggap dapat mewakili cita-cita / ideologi politik pemilih, tetapi seiring dengan waktu, banyak para pemilih berubah ke arah pemilih pragmatis yang kita kenal sekarang sebagai NPWP (Nomor Piro Wani Piro – Nomor Berapa Uang nya Berapa). Hal ini menjadikan sulit untuk mencari Partai Politik yang punya ideologi unik sehingga menjadi daya tarik untuk segmen tertentu (Segmented). Kini Partai Politik di Indonesia berubah ke arah Partai yang berusaha menarik sebanyak mungkin segmen massa yang berbeda ideologinya sehingga para pemilih tidak mampu lagi membedakan antara satu Partai Politik dengan Partai Politik lainnya kecuali karena faktor individual dari caleg – caleg yang bertarung. Kondisi Partai Politik yang ingin menyasar seluruh segmen (Catch All / Big Tent) hanya efektif di masyarakat yang homogen secara ras / agama / etnis, publik hanya dibedakan dari sisi isu – isu teknis metodologis yang dianggap rasional dan logis untuk dicapai.

Ketiga, Partai politik wajib menempatkan delegasinya untuk menduduki jabatan publik sebagai representasi ideologi partai atau cita-cita partai tersebut (jika partai tersebut mendapat dukungan dari konstituennya). Para pejabat publik yang ditunjuk oleh Partai Politik sudah seharusnya telah di didik terlebih dahulu guna memastikan bahwa ketika mereka menduduki jabatan publik akan menerapkan agenda-agenda untuk meraih cita-cita / ideologi mereka demi kebaikan bangsa secara keseluruhan. Ini adalah konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh para pemilih mereka.

Tapi kebanyakan jabatan publik dalam partai politik hari ini lebih banyak diberikan kepada para pencari jabatan atau rente jabatan (jual beli jabatan). Maka wajarlah kita kurang melihat adanya warna ideologi yang berbeda antara satu pejabat dengan pejabat lain karena mereka terpilih bukan karena mewakili cita-cita / ideologi Partai Politik tapi hanya untuk kekuasaan an sich. Lembaga Madrasah Anti Korupsi pada tahun 2017 memprediksi potensi hasil keuntungan yang didapatkan dari jual beli jabatan adalah sebesar Rp44 Triliun. Sebuah ironi demokrasi dari Partai Politik.

Ke-empat, Partai Politik merupakan penjaga tradisi dan pewaris ideologi bangsa bagi rakyat yang akan hidup pada masa yang akan datang. Menjadikan Partai Politik sebagai penjaga ideologi bangsa berdasarkan kesepakatan para pendiri negara Indonesia pada masa lalu (Founding Fathers) merupakan hal langka yang kita temui saat ini. Para pendiri negara Indonesia kita telah menyepakati arah dan platform bangsa ini pada sidang-sidang di BPUPK (Badang Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan dilanjutkan dalam sidang-sidang di konstituante yang menghasilkan juga banyak kesepakatan spektakuler dimana salah satunya adalah Mosi Integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digagas Allahyarham Mohammad Natsir dari Partai Masyumi, untuk menjadikan Indonesia tidak berpecah belah menjadi negara – negara bagian seperti yang dikehendaki Belanda. Semua kesepakatan itu dulu dipahami sangat baik oleh para tokoh – tokoh nasional yang berada di Partai Nasionalis Indonesia, Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, PSII, PSI, Parkindo dan lainnya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button