PBB Terhanyut dalam Arus Pilpres
Ghirah saya untuk kembali mengambil jalan untuk bersama-sama memperjuangkan partai politik Islam, bersama-sama membesarkan partai Islam dengan motivasi berjuang membela umat, ulama, agama, bangsa dan negara. Motivasi utamanya adalah menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suasana perasaan kebatinan itu membuat saya melangkah dan memutuskan untuk bergabung bersama Partai Bulan Bintang.
Di sisi lain, semangat kebangkitan Islam tumbuh di mana-mana. Kalangan Islam mulai sadar tentang pentingnya politik Islam. Umat pun menyambut seruan itu dengan sangat antusias, semua itu adalah bonus yang sangat menguntungkan bagi partai Islam khususnya PBB. Semangat pergerakan politik Islam ini mengingatkan kita pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
PBB seharusnya menyeru untuk menambah lagi gairah dan semangat umat itu. Bukan sebaliknya, mengambil jalan yang berbeda dari arus besar kebangkitan Islam setelah 20 tahun reformasi. Spirit ulama yang hidup di tahun-tahun 1950-an muncul kembali pada tahun 2019. Ulama tidak lagi alpa mengingatkan umat tentang politik, tidak lagi alergi membahas politik Islam.
Bukti konkritnya adalah ketika ulama berkumpul untuk tujuan politik Islam. Ini sangat luar biasa memberikan energi positif bagi partai Islam. PBB ikut mengambil bagian dalam Ijtima itu. Bahkan PBB mengatakan bahwa Ijtima Ulama itu yang digadang-gadang sebagai jalan untuk mengambil keputusan terkait arah kebijakan politik PBB. Ijtima Ulama satu PBB lewatkan tanpa sikap sambil menunggu Ijtima Ulama dua. Setelah dua kali Ijtima, Ketua Umum PBB bukan hanya diam tetapi justru mengambil jalan untuk menjadi pengacara Jokowi-Ma’ruf. Kader dan simpatisan serta umat masih bisa menerima alasan bahwa itu sikap pribadi. Alasan fokus pileg semakin digencarkan.
Dengan alasan untuk mencari formula dan nilai tawar yang lebih besar, sikap dan tindakan itu diterima. Kelonggaran dan penerimaan kader dan para caleg itu dengan alasan bahwa langkah itu adalah high politics. Tetapi semua sudah terbalik, bukan mencari posisi tawar, bukan juga merupakan langkah politik yang elit, ternyata justru itu langkah untuk mengulur waktu. Meninggalkan modal besar, dan mendekap bersama fantasi pada politik yang penuh perhitungan untung rugi.
Setelah waktu diulur-ulur, maka jalan curam diambil, yaitu memutuskan pilihan pilpres yang berseberangan dengan Ijtima Ulama dan arus mainstream umat. Sampai di sini saya berhenti merenung sejenak, kenapa semua bisa berubah seketika?
Publik mengetahui bahwa partai yang dianggap sebagai warisan Masyumi itu adalah partai yang istiqamah dalam sikap dan perjuangan. Namun ini sama sekali berbeda jauh. Dalam hal integritas, tokoh-tokoh Masyumi memiliki integritas dengan ukuran yang tinggi, tidak mudah terombang-ambing dalam sahut menyahut kepentingan sesaat. Dalam sejarahnya, Masyumi tidak pernah mengambil jalan untuk berseberangan dengan umat, apalagi menantang arus mainstream umat. Justru sebaliknya, Masyumi mengambil aspirasi umat untuk diperjuangkan di Parlemen, disuarakan kepada penguasa.
Seringkali saya membaca, bagaimana kompromi diambil oleh para tokoh Islam dahulu. Sebelum kompromi diambil musyawarah mufakat Di internal ulama, umat dan ormas Islam diselesaikan, dan baru kemudian dibuka kompromi untuk pihak luar.