Pedoman Dakwah yang Diajarkan Nabi
Allah SWT berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[
Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl: 125).
Ayat yang mulia ini adalah pedoman setiap da’i dan mubaligh dalam dakwah serta tablighnya. Ayat yang merupakan asas para ulama dan pemikir Muslim dalam berkomunikasi serta berdialog dengan orang-orang yang tidak beriman serta kaum munafiq. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, metode dakwah, dan cara berdebat.
Asbabun Nuzul ayat ini dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ li Al-Ahkam Al-Qur’an, bahwa di Makkah saat Rasulullah melakukan muhadanah atau gencatan senjata dengan pihak Quraisy. Ada juga yang menerangkan bahwa ayat ini turun pasca Perang Uhud saat Rasulullah SAW menyaksikan syahidnya 70 sahabatnya setelah berkecamuk perang. Sedangkan ahli tafsir kenamaan, Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’an Al-Azhimnya tidak meriwayatkan asbabun nuzul ayatnya.
Nampak pendapat Imam Al-Qurthubi yang lebih tepat, lantaran diperkuat dengan pengetahuan bahwa surat An-Nahl termasuk surat makkiyah (ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah).
Imam Al-Qurthubi menerangkan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW diperintahkan untuk muhadanah atau bersikap damai kepada kaum kafir Quraisy. Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyeru (ud’u) pada agama Allah (ilaa sabili robbika) dengan hikmah dan pelajaran yang baik, yang maknanya lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhâsanah), serta tidak menggunakan kekerasan (ta’nîf). Ternyata dalam sirahnya, Rasulullah telah mendidik umatnya dalam mengaplikasikan ayat yang merupakan poros dakwah para da’i sepanjang masa ini.
Menurut ayat ini, tata cara berdakwah memang harus dengan cara hikmah lagi baik. Hal itu dilakukan bukan khusus kepada orang kafir dan munafiq saja, tetapi juga sesama umat Islam sendiri. Ayat ini menurut Al-Qurthubi sifatnya muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka, namun sebagian pendapat menyatakan bahwa ayat ini secara hukumnya telah di-mansûkh (diganti) oleh ayat-ayat perang berkaitan dengan kaum kafir, yang banyak terdapat di surat At-Taubah, serta surat Muhammad dan Al-Hujurat.
Sekalipun demikian keseluruhan ayat Al-Qur’an terkait hal ini bisa kita gabungkan secara komprehensif, menjadi: jika yang dihadapi adalah orang-orang kafir yang cenderung baik dengan Islam (berlemah lembut, tidak cari masalah) kita dapat merealisasikan ayat ini. Ketika objek dakwah yang kafir tersebut cenderung pada Islam, tidak memusuhi, tidak pernah mencela Islam serta tidak menampakan permusuhan. Jika sekiranya ada harapan untuk mereka agar beriman (masuk Islam) tanpa peperangan, maka kemuhkaman ayat (tidak dimansukh dengan hukum lain) bisa dijadikan pegangan dalam perihal ini.
Ibnu Jarir Ath-Thabari atau Imam Ath-Thabari, mengatakan dalam tafsirnya yang diperkuat dengan sanad-sanad bersambung ke Rasulullah, para sahabat dan para tabi’in, Allah SWT mengingatkan Nabi dan Rasul kita, Muhammad SAW. “Serulah, wahai Muhammad, orang-orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada mereka dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan yang telah Dia azza wa jalla syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan:
1) Hikmah, yaitu dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia wahyukan kepadamu.
2) Nasihat (pelajaran) yang baik (al-maw‘izhah al-hasanah) maksudnya dengan keindahan ungkapan yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitabNya.
3) Debat atau bantahlah mereka dengan bantahan yang baik (wa jadilhum billati hiya ahsan).
Rasulullah harus berpaling dari siksaan dan permusuhan yang mereka berikan kepada beliau SAW serta umatnya, sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Maknanya, sekalipun Rasulullah SAW dimusuhi namun janganlah Rasulullah dan orang-orang beriman mendurhakai Allah, yakni dengan tidak menyampaikan risalah Rabbul ‘Izzah yang memang telah diwajibkan. Hal tersebut telah Rasulullah tunjukkan saat masa-masa dakwah jahriyah di Makkah. Lain halnya jika musuh-musuh dakwah telah menyerang secara fisik dan membahayakan nyawa, maka berjihad fii Sabilillah menjadi jawabannya.
Ilham Martasya’bana
Penggiat Sejarah Islam