OASE

Pejabat Pro-Rakyat Versi Syariat Islam

“Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti”, demikian ucapan Umar ibn Khaththab, seorang Khalifah pro rakyat yang populer itu.

Khalifah Umar r.a. sangat khawatir atas pertanggungjawaban amanah kekuasaan di Hari Kiamat nanti di hadapan Allah SWT. Sebenarnya macam apa pejabat pro rakyat versi syariat Islam itu?

Sebagai Wali

Dalam kajian fiqih terdapat kaidah yang menyatakan ‘At-Tasharruf Alar-Ra’iyyah Manutun bil-Maslahah’ (kebijakan atas rakyat harus terkait langsung dengan kemaslahatan mereka). Qa’idah ini berasal dari statemen Imam Asy-Syafi’i, ‘Manzilatul Imam Minar-Ra’iyyah Manzilatul Waliy Minal-Yatim’ (Kedudukan seorang pejabat bagi rakyatnya layaknya seorang wali bagi anak yatim).

Kaidah di atas bila definisinya dijabarkan dipahami bahwa kebijakan seorang pemimpin (pejabat) wajib dibangun, diikat, dan diorientasikan demi kemaslahatan umum, yaitu semua lapisan masyarakat yang dipimpinnya harus tersejahterahkan. Jika tidak berhasil, dia dianggap gagal mengeksekusi kewajiban syariat.

Islam tidak pernah main-main dalam urusan jabatan. Bayangkan, pemangku jabatan dianalogikan sebagai seorang wali yang menyantuni anak yatim. Sebuah analogi yang sederhana namun mulia. Anak-anak itu harus terjamin pangan, sandang , papan dan pendidikannya. Selama anak-anak itu belum baligh atau belum mampu mandiri, kewajiban belum lepas dari tangan si Wali. Si Wali haram membelanjakan sepeserpun uang anak yatim kecuali bila ia pinjam dengan niat mengembalikannya atau untuk kepentingan anak itu sendiri.

Sebagai Pengemban Amanah

Pejabat pro rakyat tergambar dalam firman Allah SWT, Surat Al-Anfal Ayat 27:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).

Dalam menafsirkan ayat diatas, seorang mufassir yang juga pakar tata negara pada masa khilafah Abasiyah, Al-Imam Al-Mawardi menjelaskan, “Mengkhianati Allah dan Rasul-Nya bisa dalam bentuk hak-hak masyarakat yang tidak ditunaikan yang ada pada harta (zakat, sedekah, dan infaq). Adapun mengkhianati amanah beliau tafsirkan dengan amanah Allah yang dibebankan kepada pemimpin berupa eksekusi tugas dan penegakan sepremasi hukum dengan tepat sekaligus larangan mengabaikan. Amanah disini, kata beliau, bisa meliputi setiap jenis amanah yang wajib ditunaikan dan haram dikhianati.

Karena jabatan merupakan amanah, wajarlah jika Khalifah Umar ibn Khathab begitu takut mempertanggung jawabkan amanah kekuasaan itu pada Hari Perhisaban kelak. “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti”, demikian ucapan Umar yang populer itu.

Integritas pejabat dalam Islam dinilai dari kecakapannya mengemban amanah. Mengemban amanah sendiri merupakan karakter orang beriman. Sebaliknya, berkhianat adalah ciri-ciri orang munafik. Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: bila berkata dia berbohong, bila berjanji dia ingkar, dan bila diberi amanah dia berkhianat”. (Muttafaq ‘Alaih). Pada kesempatan yang berbeda Rasul Saw juga menegaskan: “Tidak beriman orang yang tidak amanah, tidak beragama orang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad).

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button