Pejabat Pro-Rakyat Versi Syariat Islam
Sebagai Penggembala
Dalam hadits yang sahih disebutkan: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (HR.Al-Bukhari & Muslim).
Nabi Saw menyebut setiap manusia layaknya penggembala. Kelak laporan pertanggung jawabannya akan ditagih di Hari Akhir. Oleh karenanya pemimpin diistilahkan ra’iy (penggembala) dan rakyat disebut ra’iyyah (yang digembala).
Pemimpin dianalogikan sebagai Cah Angon (anak gembala) diharapkan sanggup ngemong semua pihak. Artinya pemimpin atau pejabat harus memiliki daya angon, meminjam istilah Budayawan Emha Ainun Najib. Karakternya mampu merangkul dan memesrai setiap lapisan rakyat yang dipimpinnya. Cah Angon merupakan sosok pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu kelompok.
Para pemegang kekuasaan ditasbihkan sebagai pelayan rakyat. Maka tugas mereka memberikan servis terbaik bagi rakyat. Visi misi mereka harus pro rakyat. Artinya tidak menipu dan mengecewakan mereka. Kebijakan-kebijakan pun harus arif dan bijak. Prinsip dasar adalah menegakkan keadilan dan melenyapkan kezaliman. Apapun keputusan mufakat yang diambil harus sejalan dengan kemaslahatan rakyat.
Sebagai seorang pejabat pro rakyat, sudah seharusnyalah setiap membuat dan menetapkan undang-undang dan peraturan harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat umum.
Tak ayal jika KH Syukron Makmun dalam tausiyahnya menyatakan, “bahwa walau negeri ini bukan negara Islam, tapi penduduknya mayoritas muslim. Untuk itu, kata beliau, pemerintah dalam membuat undang-undang gak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena UU itu yang akan pakai rakyat,sementara rakyatnya mayoritas muslim”, demikian tausiyah ulama senior yang populer dengan sebutan ‘singa podium itu.
Sastrawan Rendra dahulu pernah mengritik istilah ‘pejabat pemerintah’ dan ‘aparat pemerintah’. Dua istilah ini menurutnya sangat pas dengan orientasi kerja mereka. Tidak heran mereka selalu mengecewakan rakyat. Sebab, sebagai pejabat dan aparat mereka bekerja secara total demi kepentingan pemerintah. Sedang kepentingan rakyat nomor terakhir. Seharusnya bila ingin merubah orientasi, ubahlah istilah itu menjadi ‘pejabat rakyat’ dan ‘aparat rakyat’.
Kini semua harus kembali meluruskan niat, atas motif apakah jabatan tersebut. Seorang pengemban amanah berupa pangkat dan jabatan, apapun tingkatannya, mulai yang terkecil sampai yang terbesar, dituntut untuk menjalankannya dengan maksimal. Pejabat versi syariat tak lebih dari seorang wali anak yatim dan tukang ‘angon’ saja. Jabatan yang dalam benak sebagian kita tidak punya prestise.
Tetapi setiap amanah berupa materi dan non materi di mata Allah SWT adalah tanggung jawab besar dan kelak akan dipertanyakan pada Hari Kiamat. Sekali lagi para pejabat perlu mawas diri dengan ancaman Nabi Saw:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ma’qil bin Yasâr Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasûlullâh Saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.” [Muttafaq alaih]