Pelajaran dari Peristiwa Mu’tah

Peristiwa Mu’tah merupakan peristiwa terbesar yang dialami oleh kaum Muslimin pada masa Nabi Muhammad Saw. Peristiwa Mu’tah merupakan pendahuluan dan sebagai jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Perlu diketahui bahwa Mu’tah adalah sebuah kampung yang terletak di Balqa’ di wilayah Syam.
Sebab Peristiwa Mu’tah
Nabi Muhammad Saw mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azadi untuk menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Di tengah perjalanan, Al-Harits dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, seorang gubernur wilayah Balqa di Syam dan di bawah pemerintah Qaishar Romawi. Syurahbil mengikat Al-Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu dipenggal lehernya.
Membunuh utusan merupakan kejahatan yang amat keji, sama dengan mengumumkan perang, bahkan lebih dari itu. Ketika mendengar kejadian ini, Nabi Muhammad Saw sangat terpukul. Maka, Nabi Muhammad Saw mempersiapkan suatu pasukan yang berkekuatan 3000 prajurit. Pasukan ini merupakan pasukan Islam paling besar, karena sebelumnya tidak pernah terhimpun sebanyak itu kecuali dalam peristiwa Ahzab.
Tiga Panglima Islam
Dalam peristiwa Mu’tah, Nabi Muhammad Saw menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan. Beliau berpesan, jika Zaid terbunuh penggantinya Ja’far. Apabila Ja’far terbunuh, penggantinya Abdullah bin Rawahah. Bendera perang berwarna putih diserahkan kepada Zaid bin Haritsah.
Nabi Muhammad Saw juga memerintahkan untuk mendatangi tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair untuk menyerukan Islam kepada orang-orang yang ada di sana. Jika mereka menolak, maka pasukan muslimin memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi mereka, lalu memerangi mereka.
Nabi Muhammad Saw berkata: “Dengan asma Allah, perangilah fi sabilillah orang-orang yang kufur kepada Allah, janganlah kalian berkhianat, jangan merubah, jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua renta, dan orang yang mengisolir di tempat pertapaan rahib, jangan menebang pohon korma dan pohon apa pun, serta jangan merobohkan bangunan.
Ketika kedua pasukan sudah saling berhadapan. Pertempuran sengit pun dimulai, 3000 prajurit kaum Muslimin harus menghadapi 200 ribu prajurit Romawi. Suatu peperangan yang menakjubkan dengan penuh keheranan. Itu semua karena angin keimanan telah berhembus sehingga menimbulkan berbagai hal yang tidak terduga dan menakjubkan.
Pertama kali Zaid bin Haritsah yang memegang bendera, bertempur dengan keberanian yang luar biasa. Ia terus bertempur hingga terkena tombak musuh dan akhirnya tersungkur di tanah, mati syahid.
Saat itu juga bendera diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib. Ia juga bertempur dengan hebat. Ketika pertempuran semakin seru, kuda Ja’far terkena senjata musuh, namun Ja’far terus bertempur hingga tangan kanannya putus terkena senjata lawan.
Ja’far mengambil bendera dengan tangan kirinya. Bendera terus berkibar hingga tangan kirinya putus tertebas senjata musuh. Kemudian, ia mengapit bendera dengan kedua tangannya yang masih tersisa, bendera pun terus berkibat hingga ia terbunuh.
Dikatakan bahwa seorang Romawi menebaskan pedang kepada Ja’far hingga terbelah menjadi dua. Karena itulah Allah memberikan pahala kepadanya berupa dua sayap di surga, yang dapat digunakan terbang ke mana saja yang ia kehendaki. Sehingga, Ja’far dijuluki ath-thayyar (penerbang) dan dzul janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far gugur, bendera diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Abdullah maju membawa bendera dengan kudanya untuk bertempur. Ia agak meragukan dirinya, namun ia dapat menyingkirkan keraguannya itu, lalu melantunkan syair.
“Wahai jiwa segeralah turun ke sini. Turunlah atau biar engkau dibenci. Biarkan mereka berteriak dan menghiba. Mengapa kulihat engkau tidak suka surga.”
Akhirnya Abdullah bin Rawahah turun dari punggung kudanya. Setelah itu ia didatangi seorang sepupunya sambil menyerahkan sepotong daging untuk dimakannya untuk menambah kekuatan. Abdullah mengambilnya dan menggigitnya sedikit. Namun, lalu ia memuntahkannya lagi, seraya mengambil pedangnnya dan maju bertempur hingga syahid.