Pembungkaman ala Rezim Represif Anti Islam
Politikus sekaligus musisi, Ahmad Dhani, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi pesakitan 1,5 tahun kedepan. Sosoknya yang belakangan aktif dan vokal terhadap kebijakan dan tindakan oknum anarkis berkedok Pancasila dan cinta NKRI, seolah membuat geram pihak yang merasa terganggu karena ulahnya.
Kasus Ahmad Dhani yang akhirnya jadi tersangka ini sebetulnya bukan kali pertama. Hampir 11 kali Ahmad Dhani terjerat kasus hukum. Namun, kasus vlog “idiot” inilah yang akhirnya membawanya ke meja hijau. Dhani terbukti bersalah telah membuat ujaran kebencian lewat akun pribadinya hingga ramai diperbincangkan di dunia maya.
Kasus penahanan terhadap Ahmad Dhani tentu bukan tanpa alasan. Dugaan yang mengarah adanya motif politis sah-sah saja terjadi di negeri ini. Politik kotor dengan upaya licik bukan hal yang asing di hadapan warga Indonesia. Alam Pilpres yang semakin dekat, suasana politik yang terus menghangat, pastinya suara-suara sumbang menjatuhkan lawan sangat di waspadai. Tuduhan “ujaran kebencian” yang disangkakan seakan alat peredam untuk memuluskan kubu politik tertentu melenggang tanpa hambatan.
Sayangnya, Ahmad Dhani bukan pendukung Petahana. Kasusnya akan berbeda jika Dhani ada di kubu mereka. Tengok saja bagaimana kasus Victor Laskodat, Ade Armando, Abu Janda, oknum Banser pembakar bendera tauhid yang terang-terangan berujar kebencian dan nyata-nyata menyakiti umat Islam, dibiarkan. Meski sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib, kasusnya menguap tanpa jejak.
Lebih menyakitkan lagi manakala umat Islam mengkritisi kebijakan penguasa, meminta keadilan dan perlindungan, dengan mudahnya dijebloskan ke jeruji besi. Buni Yani, Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ustadz Alfiyan Tanjung, Novel Baswedan, dll. Mereka dengan mudah dijerat dengan UU kufur dan berbagai pasal karet menjadi dalil pidana. Perangkat pengadilan tak lagi objektif. Jabatan dan kepentingan politik menjadi tujuan, bukan keadilan. UU di buat bukan untuk kemaslahatan rakyat melainkan untuk kepentingan rezim beserta jajarannya. Proses pengadilan hanya formalitas. Slogan anti kritik terus terpampang, rakyat harus nerimo. Ketuk palu hakim seumpama nyanyian dengan syair : pelaku adalah “Muslim dan Bukan pendukung rezim”.
Hangatnya perpollitikan negeri ini diiringi perang debat yang terus dipertontonkan. Isu-isu politik menjatuhkan lawan terus digencarkan. Upaya meraih suara dan dukungan terus bergulir. Dari mulai kalangan masyarakat bawah, menengah, atas, baik waras maupun kurang waras. Segala gerak-gerik para Capres dan Cawapres tak pernah luput dari sorotan. Media massa ataupun media elektronik sibuk mengejar headline dan rating.
Tak dapat dipungkiri, hiruk pikuk Pilpres April mendatang menjadi ajang para calon kepala negara menyiapkan diri sebaik mungkin. Sepintas lebay, mengada-ngada dan pencitraan semata. Itulah demokrasi-kapitalis. Alih-alih membela demi kesejahteraan dan kepentingan rakyat, faktanya yang terjadi, demi kepentingan pribadi dan partai. Berganti rezim, bukanlah solusi rakyat sejahtera. Sudah bertahun-tahun pergantian rezim, bertahun-tahun pula rakyat sengsara. Kemiskinan terus bertambah, korupsi menggurita, kemaksiatan merajalela, kezaliman semakin menyiksa. Sebelum terpilih, betapa manis dan merakyatnya para calon pemimpin hingga mendorong rakyat memilih dan mencoblos. Kini, janji manis dan program merakyat itu sirna. Entah kemana dan siapa yang menikmati.
Kegagalan yang bermuara dari sistem buatan manusia, tak kan mampu membentuk pemimpin pembela rakyat, tapi sebaliknya. Pemimpin zalim dan gagal akan terus terulang. Siapapun dia, apakah latar belakangnya rakyat biasa, pengusaha, politikus atau militer sama saja, akan menjadi pewaris undang-undang kufur penuh kebathilan. Sampai kapan rakyat menutup mata?.