Pemerintah Gagal Mitigasi Bencana?
Memang benar, potensi rawan bencana alam pada suatu negeri adalah qadha Allah SWT. Namun menjadi wilayah kekuasaan manusia untuk berupaya semaksimal mungkin menghindari dampak buruk yang ditimbulkannya. Maka sistem mitigasi bencana alam yang baik, cepat dan tanggap merupakan bagian dari ikhtiar untuk meminimalkan resiko dan korban nyawa.
Dalam paradigma Islam, sistem mitigasi bencana alam menjadi tanggung jawab penguasa. Sebab menjadi kewajiban penguasa untuk mengurus dan melindungi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Secara teknis, sistem mitigasi bencana alam dalam Islam tidak jauh berbeda dengan banyak metode di dunia. Perbedaannya hanya terletak pada langkah awal saat terjadi bencana, yakni segera bertobat. Bermuhasabah. Mengingat segala kemaksiatan yang dilakukan, yang membuat Allah SWT sampai menurunkan bencana pada suatu kaum.
Bertobat menjadi langkah awal menghadapi bencana untuk menjaga kesadaran dan kondisi spiritualitas masyarakat. Sehingga masyarakat senantiasa menjaga ketaatan kepada aturan Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi Saw., “Tanda-tanda yang dikirim Allah ini tidak terjadi karena hidup atau mati seseorang, tetapi Allah membuat umatnya takut. Sehingga ketika melihat suatu bencana, mohon dan memintalah pengampunan kepada-Nya.” (HR. Bukhari).
Sementara itu, dalam penyelenggaraan sistem mitigasi bencana, khalifah sebagai kepala negara, bertanggung jawab dan mengontrol penuh berjalannya seluruh aspek mitigasi bencana. Yakni meliputi upaya prabencana, saat bencana dan pasca bencana hingga kondisi masyarakat kembali normal.
Khalifah menjadi tokoh sentral dalam seluruh aspek mitigasi bencana. Sebab kemaslahatan rakyat menjadi tanggung jawab besar baginya. Apatah lagi jika menyangkut nyawa rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. an-Nasai dan at-Turmudzi).
Adapun sumber biaya mitigasi bencana alam ini berasal dari kas negara dan bersifat mutlak. Maksudnya, baik ada maupun tidak ada uang di kas negara, wajib bagi negara membiayainya. Untuk itu negara wajib memaksimalkan potensi pos-pos pemasukan negara, seperti kepemilikan umum, jizyah, kharaj, dll. Jika sumber pemasukan negara tidak mencukupi, maka negara boleh melakukan konsep antisipasi lewat pajak. Pemungutan pajak ini pun hanya untuk orang kaya saja
Inilah sistem mitigasi bencana ala Islam dalam naungan khilafah. Upaya menghadapi bencana berasaskan iman dan takwa. Sehingga potensi bencana alam dapat dikelola dengan kebijakan yang benar. Tidak hanya berasaskan pada pertimbangan rasional, tapi juga berasaskan syariah. Jelas, bukan berasaskan pada pencitraan yang dibangun di atas kebohongan dan keserakahan. Alhasil, niscaya membawa keberkahan dan keselamatan bagi negeri tercinta. Wallahu’alam bishshawwab.
Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan dan Muslimah Peduli Negeri