Pemerintah Larang FPI, Bukhori: Kemunduran dan Cederai Amanat Reformasi
Di sisi lain, kata Bukhori, FPI sesungguhnya telah menunjukan eksistensi dirinya sebagai aset bangsa yang kontributif jika kita bersedia jujur dalam melihat kiprahnya secara adil dan jernih. Artinya, semua persoalan yang timbul belakangan ini seharusnya bisa dibicarakan dengan baik-baik untuk mengantisipasi dendam di kemudian hari. Namun sayangnya pemerintah kadung terjebak dalam watak arogansinya.
Bukhori mencatat sedikitnya ada dua kelemahan terkait tindakan pemerintah membubarkan FPI. Pertama, kegagalan pemerintah membangun mindset bernegara. Kedua, kecacatan landasan hukum yang digunakan.
Pertama, terkait mindset bernegara. Dalam konteks persoalan FPI selama ini, seharusnya pemerintah bisa memposisikan dirinya sebagai “Bapak” dalam bangunan keluarga Indonesia. Sementara, FPI adalah salah satu “Anak” yang berada di bawah pengayomannya. Dalam kaitannya bila sang anak menunjukan kenakalan, sepatutnya sikap yang ditunjukan seorang Bapak yang arif adalah mengayominya, bukan melakukan kekerasan terhadapnya apalagi sampai menghapus namanya dari KK.
Kedua, terkait landasan hukum. UU UU No.16 Tahun 2017 tentang Ormas sesungguhnya sampai saat ini masih kontroversial karena menyimpan banyak kelemahan. Salah satunya, UU ini menghilangkan mekanisme due process of law. Artinya, pemerintah bisa secara sepihak membubarkan ormas yang dalam pandangan subjektifnya bersalah karena melanggar ketentuan yang berlaku tanpa melalui mekanisme pengadilan.
“Padahal, hanya dengan mekanisme pengadilan sebuah ormas bisa dibuktikan bersalah atau tidak serta diberikan ruang untuk melakukan pembelaan. Dengan demikian, hal ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah,” sambungnya.
Politisi asal Dapil Jateng I ini mendesak pemerintah untuk tidak sewenang-wenang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan untuk menjinakan kelompok yang berseberangan secara pandangan politik. Ia memperingatkan bahwa hukum bukan alat untuk melayani kepentingan kekuasaan, tetapi semestinya menjadi sarana untuk menghasilkan keadilan secara lahir dan batin di tengah masyarakat.
“Hukum semestinya dioperasionalkan untuk menciptakan keadilan sosial dan menjamin terpeliharanya kehidupan demokrasi yang sehat. Hanya negara dengan kepemimpinan otoriter yang mengeksploitasi hukum sebagai “alat gebuk” apalagi hingga memberangus kekuatan yang tidak sejalan dengan kekuasaan,” tegasnya.
red: a.syakira