Pemerintah Sebaiknya Berhenti Eksploitasi Isu Radikalisme, Fokus Saja Ekonomi
Sudah lebih dua minggu Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2019. Kabinet baru juga sudah dua minggu terbentuk. Sayangnya, di tengah ancaman resesi global, dalam dua minggu terakhir wacana dominan yang dilontarkan oleh Pemerintah justru mengenai radikalisme, dan bukannya mengenai ekonomi. Arahan Presiden kepada menteri agama untuk mengatasi radikalisme telah memancing debat tidak produktif ini. Apalagi, pada saat bersamaan Presiden memilih pensiunan jenderal sebagai Menteri Agama, bukan tokoh keagamaan sebagaimana yang terus berlangsung sejak Reformasi.
Dari sisi latar belakang, masyarakat sebenarnya tak terlalu mempersoalkan sosok Menteri Agama baru. Sebab, pengangkatan pensiunan militer sebagai menteri agama bukanlah hal baru. Dulu, jabatan ini juga pernah dua kali dipegang oleh militer, yaitu oleh Letjen TNI Alamsjah Ratoe Perwiranegara (1978-1983) dan Laksamana Muda TNI (Purn) Tarmizi Taher (1993-1998). Namun, karena Menteri Agama baru terus-menerus melansir isu radikalisme, respon masyarakat akhirnya cenderung jadi negatif.
Radikalisme sebenarnya adalah isu bersama. Siapapun yang ingin merongrong Pancasila dan mengancam keutuhan tenun kebangsaan pada dasarnya akan berhadapan dengan seluruh rakyat. Namun, rakyat banyak juga mafhum jika sejak lama isu ini telah dipergunakan oleh Pemerintah tidak pada tempatnya.
Saya menilai, setidaknya ada tiga persoalan kenapa publik jadi merasa tidak nyaman dengan pengangkatan isu radikalisme.
Pertama, ancaman radikalisme yang ingin mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya bisa datang dari berbagai bidang, mulai dari ekonomi, pertahanan, cyber, dan lain-lain. Namun, Pemerintah ternyata hanya ingin mengaitkan isu radikalisme dengan agama, sehingga sampai perlu mengangkat kembali Menteri Agama dari kalangan militer. Agama itupun terkesan hanya agama Islam.
Jika Presiden dan Pemerintah hanya mengarahkan tuduhan radikalisme terhadap kalangan umat beragama, maka pilihan itu jelas kontraproduktif. Selain itu, isu ini bisa sangat melukai kalangan umat Islam, karena merekalah selama ini biasanya yang selalu dijadikan tertuduh. Itu sebabnya publik jadi cenderung merespon negatif isu ini.
Kedua, dalam beberapa periode terakhir, Kementerian Agama selalu menjadi sorotan terkait isu korupsi. Tahun lalu, misalnya, Badan Kepegawaian Negara (BKN) melansir Kementerian Agama menempati urutan kedua sesudah Kementerian Perhubungan dalam jumlah pegawai yang terjerat tindak pidana korupsi (Tipikor). Secara berturut-turut, meminjam data BKN, daftar kementerian yang pegawainya banyak terjerat Tipikor adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), dan Kementerian Ristek/Dikti. Ini tentu saja memprihatinkan.
Kalau Presiden konsisten dengan salah satu poin dalam pidato inagurasinya kemarin, mengenai agenda reformasi birokrasi, mestinya isu korupsi di Kementerian Agama ini dikedepankan, bukan isu radikalisme.