SUARA PEMBACA

Pemetaan Masjid dan Pesantren, Proyek Islamofobia?

Awal tahun ini pemerintah umbar narasi terorisme dan radikalisme lagi. Semakin menyasar dan mengerucut pada ajaran Islam dan umatnya. Sebelumnya BNPT telah memetakan pondok pesantren dan melaporkan hasilnya. Terdapat 198 pesantren yang dianggap terafiliasi dengan sejumlah organisasi teror dalam negeri. Upaya pencegahan penyebaran terorisme radikalisme pun akan dilanjutkan dengan rencana memetakan masjid di seluruh wilayah.

Kebijakan yang patut dikritisi. Pertama, pemetaan radikalisme terorisme hanya dilakukan pada tempat ibadah dan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan tempat ibadah dan lembaga pendidikan agama lain nihil. Ini tentu saja tak adil. Padahal masjid tempat suci. Pesantren majelis ilmu yang menjadi kawah candradimuka peradaban Islam. Yang masuk ke dalamnya dan memakmurkannya hanyalah orang-orang yang beriman pada Allah dan hari akhir. Yang menganggap perbuatan munkar dan keji adalah aib dan kemaksiatan pada Allah. Yang tak mungkin menumpahkan darah tanpa alasan syar’i.

Tak pantas tuduhan teroris radikalis ditujukan pada masjid dan pesantren. Ini adalah kezaliman dan menyakiti umat Islam. Secara tersirat ada framing negatif bahwa ajaran Islam adalah sumber terorisme radikalisme. Tendesiusisasi dan pendiskreditan terhadap umat Islam memang tak pernah sepi. Bahkan terus diidentikkan dengan pelaku terorisme radikalisme

Kedua, dalam waktu bersamaan teror KKB di Papua terus menghantui dan mengancam nyawa anak bangsa dan integrasi bangsa. Sepanjang tiga tahun belakang, terdapat puluhan korban meninggal baik dari prajurit TNI/Polri maupun warga sipil. Korban luka pun tak terhitung. Namun kebutralan KKB yang sudah termasuk extraordinary terror, tak disebut sebagai gerakan radikal/teroris oleh pemerintah.

Ketiga, biasnya indikator terorisme dan radikalisme, akan menimbulkan kecurigaan dan saling memata-matai antar anak bangsa. Ironinya dilakukan di tempat ibadah. Kepercayaan dan saling menjaga silah ukhuwah antar sesama muslim pun akan luntur. Tak pelak lagi hal ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Kerja Keras, Tapi Teroris Radikalis Tak Pernah Mati

Ramainya pembahasan terorisme radikalisme oleh publik maupun media massa sudah berjalan dua dasawarsa. Sejak tragedi bom Bali tahun 2002 yang memakan korban ratusan jiwa dari berbagai negara. Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi dan menanggulanginya.

Dibentuknya lembaga atau badan khusus seperti BNPT atau densus 88. Dikuatkan dengan kerjasama beberapa kementerian hingga melibatkan TNI. Diterbitkannya UU, peraturan pemerintrah, keputusan menteri dan sebagainya sebagai payung hukum. Bahkan melakukan kerja sama internasional di bawah kerangka PBB, seperti Counter Terorism Implementation Task Force (CTITF), Counter Terrorism Financing (CTF), International Meeting on Counter-Terrorism (IMCT) dan sebagainya.

Hasilnya dikucurkan dana segar ratusan miliar per tahunnya khusus untuk penanganan terorisme radikalisme. Tambahan lagi dana bantuan dari asing. Setiap tahun terjadi puluhan hingga ratusan penangkapan atau penembakan mati ‘terduga’ teroris. Baik yang terafiliasi jaringan Jamaaah Islamiyah, Al Qaeda, ISIS, Jamaah Ansharuut Daulah dan sebagainya. Tahun 2021 lalu dari data yang diekspos oleh BNPT sendiri, terdapat 364 orang yang ditangkap dan ditindak densus 88. Termasuk eksekusi hukuman baik penjara maupun mati bagi narapidana terorisme.

Yang menarik, walaupun perjalanan panjang nan melelahkan sudah dilakukan, pemerintah masih mengklaim tindakan teroris radikalis semakin hari semakin subur. Seakan tak pernah mati. Hal ini tentu saja menjadi tanda tanya publik. Sebenarnya ada atau tidak terorisme radikalisme tersebut atau hanya ‘proyek’ politik dan kepentingan?

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button