MUHASABAH

Pemimpin yang Dicintai

“Hai Banu Qailah, ini dia kawanmu datang!” Teriak seorang Yahudi pada sekelompok kaum muslim yang sedang menanti kedatangan Rasulullah dan sahabatnya Abu Bakar. Ia berdiri di perbatasan, berharap menjadi yang pertama melihat tamu istimewa. Penduduk Madinah rindu ingin melihat Rasulullah, sosok pemimpin yang selama ini menjadi perbincangan mereka.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihatnya. Akan tetapi mendengar kisahnya, tatkala beliau dan para pemeluk Islam di Makah dikejar dan disiksa kafir Quraisy, sungguh menarik perhatian penduduk Madinah. Tidak terbayangkan bagi mereka, ada seseorang yang tetap teguh memegang kebenaran bahkan memperjuangkannya.

Kini mereka berharap segera melihat wajahnya. Tidak hanya kaum muslim, penduduk Yahudi dan non muslim Madinah pun penasaran, ingin menjumpai pemimpin hebat yang telah berjalan jauh menyusuri jalan panjang dataran Tihamah, di bawah terik panas gurun demi menegakkan agama yang haq.

Kaum muslim berusaha mendekati Rasulullah, melihat dan menyentuh pemilik nama yang selalu mereka sebut saat salat. Para tokoh Madinah menawarkan diri, ingin menjamu pemimpin yang dipercaya bisa menyatukan hati suku Aus dan Khazraj yang kerap berperang dan berselisih ratusan tahun lamanya dalam Buats.

Inilah sebaik-baik pemimpin. Kehadirannya dinanti, keberadaannya dirindukan. Di tangannya umat menaruh harapan yang besar akan baiknya pengelolaan negara. Di pundaknya umat yakin akan baiknya seluruh pengaturan hak umat. Tidak dikurangi, tidak juga dikebiri. Umat sejahtera di dalam kekuasaannya.

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; yang mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka.” (HR Muslim).

Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab pada pengurusan umat, memutuskan perkara di tengah mereka menggunakan aturan Allah, menegakkan hudud dan seluruh ketentuan syariah. Pemimpin dalam Islam juga bertindak sebagai junnah (perisai) atau wiqayah (pelindung) bagi umat. Seseorang yang utama dan terdepan di setiap persoalan umat.

Maka jika saat ini terjadi krisis kepercayaan di tengah umat, kepada pemimpin mereka, hal ini tentu tidak lepas dari buruknya sekularisme yang menjadi landasan bernegara. Sekularime menghasilkan pemimpin yang buruk, memproduksi berbagai kerusakan di tengah umat. Sebab sekularisme menegasikan peran Allah dalam kehidupan.

Alhasil umat pun enggan menghadapi pelantikan pemimpin produk sekularisme. Karena mudah ditebak, ending dari penerapan fashludin anil hayah adalah kerusakan lagi. Siapapun pemimpinnya, selama sekularisme menjadi denyut nadi umat, selama itu pula umat tidak akan ke luar dari problematika kehidupannya.

Sekularisme membuat rusaknya asas pemikiran. Sebab dalam sekularisme, aturan manusia menjadi lebih unggul dibandingkan syariat. Manusia lebih mulia dari pada Allah. Ini adalah persoalan mendasar yang luput dari pemahaman umat. Padahal wajib untuk berhukum dengan hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Memisahkan agama dari kehidupan adalah memisahkan Islam dari pengurusan umat. Sementara kekuasaan dan Islam memiliki hubungan yang sangat dekat. Keduanya laksana saudara kembar, tak terpisahkan.

Sebagaimana Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 199).

Hal ini pernah terjadi setelah wafatnya Umar bin Khaththab. Abdurrahman bin Auf datang ke rumah putra saudaranya, Miswar bin Mukrimah dan ia berkata, “Apakah engkau tidur wahai Miswar?”.

Miswar menjawab, “Demi Allah, aku tidak banyak tidur sejak tiga hari ini.”

Kepengurusan umat adalah perkara yang penting, sehingga para sahabat kala itu menunda tidur sebelum menemukan calon yang tepat sebagai seorang Khalifah. Mereka bersungguh-sungguh mencari pemimpin yang tepat bagi kemaslahatan umat.

Dalam Islam, seorang pemimpin pada hakikatnya mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum syariah. Karena Islam menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Jika kita mengacu pada hal ini, sungguh kebaikan negeri ini akan terwujud di bawah kepemimpinan yang mau berhukum dengan hukum Allah.

Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button