Pemimpin yang Kita Harapkan
Di sini Allah jelaskan bahwa menjadi pemimpin itu harus hati-hati dalam mengambil keputusan. Sayidina Ali menyatakan bahwa seorang pemimpin jangan mengeluarkan kebijakan ketika ia dalam keadaan marah. Ketika ada sahabat minta nasihat kepada Rasulullah, beliau menasihatkan jangan marah, jangan marah. Mengeluarkan keputusan dalam keadaan marah, hasilnya bisa keliru dan bisa mengakibatkan kerusakan di masyarakat.
Dalam surat an Naml 63, Allah menyatakan, “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.”
Bila pemimpin itu telah mengeluarkan segenap pikirannya untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran, maka Allah akan memberi pertolongan kepadanya. Bila anda jadi pemimpin, maka bersyukurlah. Berarti Allah telah mempercayai anda dalam membimbing anak buah. Tapi juga beristighfarlah karena menjadi pemimpin itu berat. Mereka yang memimpin dengan seenaknya, mengutamakan diri, keluarga, organisasi di atas kepentingan rakyat, Allah mengancam pemimpin itu dengan neraka. Karena sekali salah pemimpin itu buat keputusan, maka dampaknya besar bagi rakyat. Keputusan yang dibuat pemimpin itu beda dengan keputusan yang diambil rakyat biasa.
Karena beratnya kepemimpinan itu, maka seorang pemimpin harus senantiasa mendekatkan diri pada Allah. Maka jangan heran Rasulullah senantiasa shalat tahajud meminta kepada Allah segala hal yang menyangkut kehidupannya.
Bila kita menengok sejarah Rasulullah, maka kepemimpinan itu diberi bukan ‘diperlombakan’ seperti era demokrasi liberal sekarang. Kepemimpinan Rasulullah diakui oleh masyarakat Arab saat itu, sehingga akhirnya beliau diangkat menjadi pemimpi di Madinah Munawwarah, kota yang bercahaya. Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Penulis Buku Agar Umat Islam Meraih Kemuliaan