Penangkapan Munarman, Kezaliman di Pertengahan Ramadhan
Tak terasa bulan suci Ramadhan sudah memasuki pertengahan. Bulan purnama pun telah menandakan. Seperti yang dikabarkan bahwa sepuluh hari kedua di bulan mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan pintu pengampunan bagi hamba-Nya yang membasahi lisan dengan istighfar dan bertekad untuk taubatan nasuha.
Namun, tidak begitu bagi pasukan Densus 88. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka dengan paksa menjemput mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), sekaligus sebagai pengacara Habib Rizieq Syihab, yaitu Munarman, Selasa (27/4) (CNNIndonesia.com, 27/04/2021).
Kronologis penjemputan pun terkesan tak etis. Munarman tak diperkenankan sekadar untuk memakai alas kaki, bahkan matanya ditutup dan tangannya diborgol.
Baca juga: Munarman yang Saya Kenal
Kejanggalan demi kejanggalan begitu kentara dirasakan. Polisi menduga bahwa Munarman terkait tindakan baiat terorisme. Ini baru dugaan, tapi begitu sigap melakukan penangkapan. Bahkan pembuktian yang memberatkan pun belum dapat diberikan oleh aparat kepolisian. Sungguh tindakan kepolisian tampak berbeda dengan penanganan kasus korupsi yang terkesan lamban atau kasus pembunuhan enam laskar FPI yang dianggap bukan sebuah kejahatan.
Menyaksikan penangkapan Munarwan, masyarakat yang berdomisili satu kompleks dengannya kaget bukan kepalang. Hal demikian karena selama hidup bertetangga, Munarman memang dikenal sangat baik, bahkan aktif mengisi pengajian di Masjid Ar Rohmad, Modern Hills.
Pun mengenai penggeledahan kantor FPI pasca penangkapan Munarman, polisi begitu sesumbar mengabarkan telah menemukan serbuk putih mencurigakan. Jika dasarnya akan memfitnah bisa saja tepung terigu atau tapioka pun dipaksakan sebagai barang bukti dan dilabeli bubuk mesiu pembuat bahan peledak. Padahal aslinya hanya bahan untuk membuat gorengan sebagai menu buka puasa di Petamburan.
Fitnah yang sungguh keji. Pemangku kekuasaan dan aparat kepolisian telah mempertontonkan kezaliman di pertengahan bulan yang dimuliakan. Padahal, hakikatnya Ramadhan adalah bulan untuk melesatkan ketakwaan dan menjauhi apa-apa yang akan menciptakan kesewenang-wenangan pada umat.
Mungkin aparat kepolisian sedang khilaf atau bahkan pura-pura lupa bahwa tugas mereka adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Menjaga keharmonisan interaksi penduduk negeri ini dengan sesamanya juga dengan pemimpin negeri, bukan malah mengkriminalisasi ulama juga tokoh masyarakat yang vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.
Mungkin juga densus 88 lupa, bahwa Ramadhan adalah bulan diturunkan Al-Qur’an. Kitab yang disediakan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pedoman dalam kehidupan agar manusia bisa saling berlaku baik dan jauh dari sikap menghardik.
Namun sayang, Densus 88 dan aparat kepolisian terlanjur blak-blakkan menunjukkan bahwa mereka bertugas untuk apa dan siapa. Jauh panggang dari api, mereka telah sudi dijadikan alat oleh kekuasaan. Adanya selalu bengis menindak yang berseberangan dan manis merangkul yang sepemahaman.
Jika semua pihak yang berlaku kritis ditangkapi, mungkin di luaran sana hanya akan disisakan orang-orang yang oportunis. Orang yang bisa satu suara dengan pemangku kuasa, tanpa tahu hakikat salah benarnya. Sehingga kekuasaan otoriter akan melanggeng dengan paripurna dan negara ini akan menjadi surga bagi para durjana.
Wahai tuan-tuan yang berseragam dan membawa senapan laras panjang, ingatlah bahwa setiap tindakan yang Anda lakukan akan selalu menuai akibat. Tak ada yang luput dari penilaian Allah Subhanahu wa Ta’ala, meski di dunia kalian merasa aman, camkan di Yaumil hisab ketakutanlah yang ada bersama kalian.
Potret kezaliman ini akan terus berlangsung tak berkesudahan. Mengingat hukum yang diberlakukan bukanlah yang bersumber dari Kalam Ilahi. Sehingga ulama dan tokoh masyarakat yang kritis pun akan menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi.
Hukum sekuler telah membutakan mata hati aparat negeri. Mereka bertugas tanpa hati nurani, sehingga tega berlaku keji.
Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka hingga hari yang ketika itu mata mereka terbelalak. (Q.S Ibrahim: 42)
Jika menyelami kala masa Islam dijadikan landasan kehidupan dalam sebuah kepemimpinan, maka kehidupan ulama dan umat yang aktif mengoreksi penguasa itu akan dimuliakan. Tanpa mereka negara tak akan ada perbaikan. Justru dengan kritik dan saran, kehidupan Islam akan tetap berjalan.
Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk berlama-lama hidup dalam kepemimpinan sekuler. Sudah saatnya umat semakin merapatkan barisan untuk menerapkan kehidupan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan kehidupan sekuler yang selalu menyuguhkan kezaliman. Wallahu’alam bishawab.
Ammylia Ummu Rabani
(Komunitas Muslimah Peduli Umat)