‘Pencuri’ Harta Rakyat

Pertama, ‘tikus berjasi’.
Tak salah mengatakan koruptor adalah pencuri harta rakyat di negeri ini. Dari kasus-kasus yang terungkap, mayoritas koruptor adalah pejabat tinggi negara atau perusahaan. Semisal menteri, anggota MPR/DPR, penegak hukum, dirut BUMN atau perusahaan dan lainnya. Gaji dan tunjangan mereka lebih dari cukup untuk hidup nyaman, disertai fasilitas lengkap dan mewah. Tapi kewenangan dan kebijakan yang ada di tangan mereka disalahgunakan. Keuangan negara yang harusnya dikelola untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat malah digerogoti untuk semakin memperkaya diri dan kroni.
PPATK (April/2025) memaparkan bahwa total transaksi aliran dana pada kasus korupsi selama tahun 2024 mencapai Rp984 triliun. Fantastis. Kerugian negara mencapai sepertiga APBN tahun 2024. Bukan angka kaleng-kaleng. Angka ini belum ditambah dengan jumlah korupsi tahun-tahun sebelumnya. Ya wajar Indonesia bergelar ‘envelope country’ tercipta kemiskinan sistemik.
Kedua, ‘pencuri’ harta milik umum.
Memang layak Indonesia dijuluki heaven on earth (tanah syurga) karena keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam (SDA). Dari Sabang sampai Merauke terbentang dan tertanam SDA yang tak terhitung nilainya.
Kemenkeu (2014) melansir bahwa jika seluruh SDA Indonesia dicairkan dalam bentuk uang akan menghasilkan ratusan ribu triliuan rupiah. Mantan Ketua KPK Abraham Samad pun pernah mengatakan bahwa potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp7.200 triliun setiap tahunnya dari SDA.
Islam menjadikan SDA sebagai kepemilikan umum. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.
Syariat Islam memberikan kekuasaan pada negara untuk mengelola kepemilikan umum. Diharamkan pengelolaannya diserahkan pada individu atau badan usaha (baik dalam negeri atau asing). Pengelolaan oleh negara bervisi melayani kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, kebijakan negara hari ini bersifat sekuler kapiltalistik. Negara memberikan legalitas pengelolaan SDA pada badan usaha (korporasi) baik atas nama pemerintah, swasta, maupun asing. Negara hanya berperan sebagai regulator. Negara hanya mendapat ‘jatah’ yang tak sepadan. Terbukti dalam struktur APBN 2024, SDA hanya menyumbang pendapatan negara sebesar Rp207,7 triliun. Hanya 7,41 % dari total pendapatan negara.
Akibatnya yang menikmati cuan melimpah dari SDA hanyalah segelintir orang yang tergabung dalam badan usaha (korporasi) tersebut. Sedangkan mayoritas rakyat hanya gigit jari dan terjatuh pada kemiskinan. Hal ini walaupun ‘legal’ oleh negara yang sekuler kapitalistik tapi bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga hakikatnya badan usaha (korporasi) tersebut telah ‘mencuri’ harta milik rakyat. Badan usaha (korporasi) tersebut telah mengambil hak dan kepemilikan umum rakyat.