NASIONAL

Pendaftaran Sertifikasi Halal di BPJPH Cara Manual, LPPOM MUI Nilai Kemunduran

Jakarta (SI Online) – Seiring berlakunya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), mulai hari ini pendaftaran sertifikasi halal bagi pelaku usaha dilakukan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Untuk saat ini pendaftaran masih dilakukan secara manual sebab hingga hari ini BPJPH belum menyelesaikan sistem informasi halal atau (SIHalal).

Menurut Kepala BPJPH Soekoso, pendaftar dapat mendatangi kantor BPJPH, Kanwil Kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia.

Registrasi manual ini dinilai Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim sebagai langkah mundur. Sebab sistem sertifikasi halal online sejak beberapa tahun ini telah digunakan LPPOM MUI. Setiap produsen yang ingin mengurus sertifikasi halal tidak perlu datang ke kantor LPPOM MUI.

“Registrasi manual ini mundur ke belakang beberapa tahun lalu. Produsen harus datang ke Kemenag membawa berkas-berkas. Kalau di LPPOM kan sudah berlalu masa itu. Kami telah menerapkan sistem online Cerol, tinggal upload berkas-berkas secara online,” kata Lukmanul Hakim dalam keterangannya, Rabu malam (16/10/2019).

Melihat fakta ini, Lukman berharap agar pemerintah tidak merasa gengsi untuk berkolaborasi dengan sistem sertifikasi halal di LPPOM MUI yang sudah mapan.

“Mari kita gabungkan. Pemerintah apa yang siap, LPPOM MUI siapnya apa. Jadi peralihan wewenang ini jalannya mulus. Kita fair saja, kita siap support,” ungkap Lukman.

Kemudian, soal belum adanya ketentuan biaya sertifikasi halal juga disoroti Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat itu.

“Soal pembiayaan ini belum ada dari Kementerian Keuangan. Belum ada ketentuan tarif,” jelas Lukman.

Konsekuensi belum adanya ketetapan biaya, lanjut Lukmanul, berarti layanan sertifikasi halal belum bisa dilakukan oleh BPJPH.

Belum Ada Sanksi

Selain soal pendaftaran manual dan belum adanya tarif untuk layanan sertifikasi, Lukman juga mengritisi belum diberlakukannya sanksi bagi pelanggar UU JPH.

Menurut Lukman, dengan ketidakadaan sanksi bagi pelanggar UU JPH hingga 2024, artinya sampai lima tahun ke depan sertifikasi halal masih bersifat sukarela (voluntary).

“Ini sanksinya belum ada. Padahal pada pasal 4 UU JPH harus ada sanksi. Buat apa jika tak ada sanksi?” ujar Lukman yang juga Ketua Umum Al Ittihadiyah itu.

Dikatakan Lukman, pemerintah memutuskan melakukan pentahapan produk-produk yang disertifikasi halal. Untuk produk makanan-minuman, pemerintah memberi tenggat waktu hingga 2024 kepada para produsen untuk urus sertifikasi halal.

“Kondisi ini sama saja dengan sebelumnya, artinya sertifikasi halal masih voluntary. Produsen khususnya makanan dan minuman masih diberi waktu oleh pemerintah untuk urus sertifikasi halal hingga 2024. Nanti bisa saja, ada produsen yang baru ngurus sertifikasi halal menjelang 2024. Mestinya kan sesuai amanat UU JPH, mulai 17 Oktober 2019 ya harus langsung mandatory (wajib) sertifikasi halal,” ungkap Lukman.

Lukman mengakui ada perbedaan tafsir antara pemerintah dengan pemangku kepentingan lainnya terkait kapan mandatory sertifikasi halal diterapkan. Tafsiran pemerintah, UU JPH penerapannya 17 Oktober 2019 dimulai dengan sosialisasi serta penyiapan infrastruktur, suprastruktur, SDM dan lainnya.

“Sementara tafsiran kami, 17 Oktober 2019 itu ya langsung mandatory, ada sanksinya bagi yang melanggar. Lima tahun sejak UU JPH diundangkan (2014) sudah cukup mempersiapkan infrastruktur dan lainnya. Mestinya pemerintah mempersiapkan dari awal,” pungkas Lukman.

red: asyakira

Artikel Terkait

Back to top button