INTERNASIONAL

Pendeta Ortodoks Yunani: Jika Turki tak Lindungi, Aya Sofya Sudah Roboh Sejak Lama

Jakarta (SI Online) – Evangelos Papanikolaou, seorang pendeta Kristen Orthodoks Yunani, Teolog, Misionaris dan Profesor di bidang Fisiologi, memuji Turki atas keputusan mengubah status Aya Sofya dari museum menjadi masjid.

“Jika orang-orang Turki tidak melindungi Aya Sofya, itu akan sudah roboh sejak lama!,” ungkap pendeta di Gereja Analipseos di Rafina dekat Athena itu dalam sebuah video yang beredar.

Dia juga mengatakan bahwa orang-orang Turki melindungi banyak gereja di Yunani dan tidak menutupnya.

“Siapa yang akan melindungi bangunan besar seperti Hagia Sofia? Orang-orang Turki melakukannya,” katanya seperti dikutip Anadolu Agency.

Papanikolaou selanjutnya mengatakan hal ini seraya menambahkan bahwa orang-orang Turki tidak pernah menutup gereja di Kreta. Dan ini sama sekali beda dengan apa yang dilakukan Yunani.

“Sebaliknya banyak biara dan gereja ditutup di Yunani atas perintah Raja Otto I,” katanya, merujuk pada seorang pangeran Bavarian Katolik yang dinyatakan sebagai raja Yunani pada tahun 1832.

Kala itu dinasti raja Othonas menolak untuk mengadopsi Ortodoksi. Mereka tetap menganggap kepercayaan Kristen Ortodoks tetap sebagai bidat di mata penduduk Yunani.

Papanikolaou mengatakan, orang-orang dapat mempraktikkan agama mereka di bawah pemerintahan Turki di Yunani.

“Itulah sebabnya orang [Bizantium] mengatakan, “Saya lebih suka melihat turban Turki daripada mitra Latin”. Saya ingin melihat tidak satu pun dari mereka, tetapi jika saya harus membuat keputusan, saya lebih suka Turki,” katanya.

Ungkapan terkenal “Saya lebih suka melihat sorban Turki di tengah-tengah Kota (yaitu, Konstantinopel) daripada mitra Latin” mencerminkan penderitaan umat Kristen Ortodoks di tangan umat Katolik setelah Skisma Besar Kekristenan pada 16 Juli 1054.

Papanikolaou melanjutkan dengan mengatakan, banyak wisatawan mengunjungi Hagia Sofia dengan pakaian yang tidak pantas saat menjadi museum. Tetapi, mulai sekarang mereka akan melepas sepatu mereka dan mengenakan gaun panjang dan jilbab sesuai dengan aturan pakaian di tempat ibadah.

“Bukannya itu tanda hormat?,” tanyanya retoris.

“Mungkin kita perlu menganggap ini bukan sebagai kutukan, melainkan upaya perbaikan,” katanya.

red: a.syakira

Artikel Terkait

Back to top button