Pendobrak Berhala (1)
Seseorang laki-laki yang termasuk pemuka Quraisy merasa terlalu congkak untuk mengawinkan anak wanitanya atau saudara wanitanya dengan seorang laki-laki Arab biasa saja. Lalu Muhammad yang juga salah seorang pemuka Quraisy, mau mengawinkan putri pamannya, Zainab binti Jahsy, dengan budak yang telah dimerdekannya, Zaid.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra ada seorang Wanita dari kalangan tinggi Bani Makhzum mencuri. Orang-orang Quraisy merasa berkewajiban membantunya. Mereka berkata:
“Siapa diantara kamu yang dapat membicarakan ini dengan Rasulullah Saw? Mereka menjawab,”Siapakah lagi yang lebih berani dari Usamah bin Zaid yang amat disayangi Rasulullah Saw?” Lalu Usamah membicarakannya dengan Rasulullah. Lalu beliau menjawab, ”Apakah engkau minta keringanan dalam persoalan hukuman Tuhan yang telah ditentukanNya?” Lalu beliau berpidato,
“Orang-orang sebelum kamu menjadi hancur karena bila ada orang mulia mencuri mereka biarkan saja. Kalau orang yang lemah mencuri mereka tegakkan hukum. Demi Allah! Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan saya potong tangannya.” (HR Bukhari Muslim)
Empat belas abad setelah Muhammad, umat Manusia masih tetap mencari-cari dan mencoba dalam masa kenaikan yang sukar ini untuk sampai ke ufuk dunia, yang memang telah dicapainya di alam kenyataan dan realitas, tetapi belum di alam Impian dan khayalan.
Ia merupakan revolusi dalam menentang keaniayaan, penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Revolusi yang telah melucuti para penguasa dan sultan-sultan dari segala hak Istimewa mereka, dari segala kekuasaan. Sebabnya adalah karena ia mengembalikan dalam persoalan hukum dan perundang-undangan seluruhnya kepada Allah, dan mengembalikan seluruh persoalan yang menyangkut dengan pemilihan orang yang akan melaksanakan hukum dan perundang-undangan itu kepada rakyat.
Di sini kita ahrus berhenti sebentar untuk menyingkapkan kedalaman jaminan-jaminan yang terdapat dalam sistem ini, yang tidak terdapat dalam sistem manapun.
Mengambil seluruh hak untuk membuat hukum dan undang-undang dari manusia dan mengembalikannya kepada Tuhan saja, menjadikan bahwa tidak seorangpun dari manusia, tidak ada satu golonganpun, atau suatu Tingkat sosial pun, mendapat kesempatan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Tidak ada satu orang yang melaksanakan undang-undang mendapat kesempatan untuk meninggikan diri terhadap orang lain. Atau kesempatan bagi seseorang untuk meninggikan diri di atas suatu kelompok, atau suatu lapis sosial di atas suatu lapis sosial.
Hak untuk menentukan hukum itu seluruhnya hanya kepunyaan Allah saja. Setiap orang yang ingin membuat peraturan dan undang-undang harus berdasarkan dan bersumber dari hukum dan perundang-undangan yang telah ditetapkan Tuhan. Allah adalah Tuhan semua orang.
Jadi dalam hukum dan perundang-undangan itu tidak aka nada lagi pilih kasih terhadap seseorang, suatu golongan atau suatu kalangan tertentu dalam masyarakat.
Jika orang melaksanakan suatu hukum, ia sama sekali tidak akan merasa bahwa ia tunduk kepada kehendak seorang lain. Ia hanya tunduk kepada Allah, Tuhan semua orang. Karena itu semua kepala merasa sama tinggi, semua kegiatan menjadi meningkat, karena semua orang hanya tunduk kepada Allah saja. (BERSAMBUNG)
Nuim Hidayat
Sumber: Sayid Qutb, Beberapa Studi tentang Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1981.