Penegakan Hukum Kasus Kerumunan Inkonsisten!
Berkaca pada kasus kerumunan sebelumnya, rakyat pun membandingkan sanksi kerumunan yang diterima oleh pihak pengelola Mal Festival Citylink hanya didenda ratusan ribu, sementara pelanggaran PPKM pada tukang bubur mendapat denda jutaan, bahkan ada yang berakhir dengan bui. Belum lagi kasus kerumunan seperti flashmob, pesta pernikahan yang dihadiri oleh pejabat, bagi-bagi sembako gratis oleh penguasa, dan masih banyak kasus kerumunan lain yang dibedakan hukumanya, sementara jika yang membuat kerumunan adalah kepala negara atau pejabat, apakah sanksi yang sama berlaku untuknya?
Tidakkah ini terkesan sebagai wujud inkonsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan protokol kesehatan?
Publik merasa ada perbedaan kontras perlakuan hukum pada beberapa kasus kerumunan. Kerumunan boleh sama, tetapi perlakuan belum tentu serupa. mengapa perlakuan berbeda antara rakyat, pengusaha, dan para pejabat?
Hukum seperti tebang pilih, disesuaikan selera kepentingan dan kekuasaan. Hukum di negeri ini sangat tajam kepada rakyat kecil, namun seolah menjadi bisu dan tumpul jika berhadapan dengan pengusaha dan pejabat. Hukum pun bisa memilih mana yang harus dibui dan mana yang tidak perlu dibui. Inilah anomali hukum demokrasi yang eksis pada hari ini.
Tidak mengherankan, lambat laun masyarakat menunjukkan lunturnya kepercayaan mereka pada sistem hari ini. Para pemangku kekuasaan gagal memberi teladan. Mereka juga gagal mewujudkan keadilan hukum, gagal melindungi kesehatan dan keselamatan nyawa rakyatnya.
Semestinya kebijakan pemerintah untuk penanganan dan penguncian wilayah (lockdown) ini segera ditegakkan, namun akibat kesalahan kebijakan penanganan, justru terkesan ibadah umat Islam menjadi persoalan utama. Terbukti, kebijakan yang massif disosialisasikan adalah soal pembatasan ibadah bagi umat muslim.
Sebagaimana MUI membolehkan shalat Jumat diganti menjadi shalat Zuhur saat kasus Omicron meningkat sebagai antisipasi penularan. Alih-alih membuat rakyat taat prokes, kesalahan penanganan seperti ini makin banyak mendorong pelanggaran prokes, karena banyak yang melihat kebijakan aturan kerumunan ini hanya untuk menghalangi muslim melakukan ibadah.
Kebijakan ini sangat kontradiktif dengan komitmen penanganan pandemi. Mengapa tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya?
Saat Indonesia diterjang badai Covid-19 varian Delta, pemerintah terlihat gagap dan kalang kabut. Pemerintah pun tidak tanggap mengantisipasi situasi terburuk, dan penanganannya terkesan lamban. Sebaliknya, malah terkesan santai, bahkan ngeyel. Saat itu, imbauan pakar dan para ahli kesehatan tidak digubris, justru membuat kebijakan yang menampilkan sikap ambiguitas. Imbauan memperketat protokol kesehatan tidak akan bermakna apa-apa jika kebijakan pemerintah justru memberi peluang sebaran kasus Covid-19 makin tidak terkendali, dengan dibukanya lalu-lalang penerbangan.
Pengamat mengatakan, pemerintah melalui Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, bahkan masih membuka pintu untuk warga asing masuk Indonesia. Aturan imigrasi yang diterapkan pun terkesan kendur dan plinplan, sehingga Indonesia kembali mendapat lampu kuning menghadapi gelombang Omicron. Hal inilah yang membuat publik makin geram.