SYARIAH

Pengelolaan Migas Cara Islam

Menurut Islam, bahan tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas, adalah termasuk harta kepemilikan umum (publik ownership). Status pemiliknya selamanya adalah rakyat, tidak boleh dipindahtangankan kepada individu, swasta terlebih kepada swasta asing. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, sedangkan pemanfaatannya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi Saw, berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud).

Adapun larangan dikuasainya harta milik rakyat yang jumlahnya melimpah oleh individu, swasta apalagi swasta asing, adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy:

“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’”. (HR. Tirmidzi)

Menurut Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fi Daulah Khilafah, tindakan Rasulullah saw yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas.

“Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memilikinya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum Muslim”, tulis Zallum.

Menurut Zallum, larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam saja, cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah (deposit)-nya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas.

Sedangkan pemanfaatan minyak dan gas, karena jenis harta ini adalah milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum Muslim, dan mereka berserikat di dalamnya, maka berarti setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, kaya biasa atau konglomerat, pengendara motor atau mercy, anak-anak atau dewasa, orang saleh ataupun orang jahat.

Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya maka negaralah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum Muslim. Kemudian menyimpan pendapatannya di Baitul Mal kaum Muslim. Kepala negara adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya, sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin hukum-hukum syara’, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.

Dimungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk-bentuk: Pertama, untuk membiayai seluruh proses operasional produksi minyak dan gas, pengadaan sarana dan infrastruktur, sejak riset, eksploitasi, pengolahan, hingga distribusi ke SPBU-SPBU. Termasuk di dalamnya membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga (karyawan/tenaga ahli/direksi) yang terlibat di dalamnya.

Kedua, dibagikan kepada individu-individu rakyat, yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan minyak bumi dan gas kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka, secara gratis. Boleh saja Khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya, atau dengan harga pasar. Ia juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka. Semua tindakan tadi dipilihnya dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Ketiga, untuk menutupi pengeluaran negara seperti pembelanjaan wajib yang meliputi anggaran belanja kantor-kantor pemerintah, santunan bagi para pejabat, gaji tentara dan PNS, menjamin kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, pembangunan berbagai infrastruktur yang ketiadaannya menyebabkan timbulnya kerusakan. Termasuk pembelanjaan untuk menunaikan kewajiban jihad, seperti mempersiapkan tentara yang tangguh dan pembelanjaan alat utama sistem senjata (alutsista). Wallahu a’lam.

(shodiq ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button