Pengurus Baru MUI: Faksi Kritis Habis
Susunan Dewan Pimpinan MUI Periode 2020-2025 diumumkan pada Jumat dini hari, 27 November 2020. Melalui berbagai macam platform media, baik media konvensional maupun media sosial, seperti WhatsApp, informasi itu segera menyebar luas.
Jumat siang, orang bertanya-tanya. Kemana pengurus MUI yang kemarin dikenal luas sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah?
Di Wantim, nama Din Syamsuddin, Bahtiar Nasir, tak lagi ada. Pengurus Wantim lama hanya menyisakan Prof Dr KH Didin Hafiduddin saja.
Sementara di pengurus harian, Waketum KH Muhyidin Junaidi ‘dibuang’ sebagai Wakil Ketua Wantim, Sekjen Buya Anwar Abbas ‘dipindah’ menjadi Wakil Ketua Umum. Tiga Wakil Sekjen yang selama ini cukup menjadi “media darling” juga ‘hilang.’ Nadjamuddin Ramly, aktivis Muhammadiyah yang terakhir terlibat dalam deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) namanya hilang. Demikian pula dengan Ustaz Tengku Zulkarnain. Ustaz Zaitun Rasmin, yang sejak 2016 aktif dalam GNPF-MUI (kemudian berubah menjadi GNPF-Ulama) juga dibuang menjadi Wakil Sekretaris Wantim. Terakhir, Wakil Bendahara MUI Yusuf Muhammad Martak, yang selama ini juga dikenal sebagai Ketua Umum GNPF-Ulama, namanya pun hilang.
“Faksi Kritis” atau boleh dibilang “Faksi 212” ini jumlahnya tidak banyak bila dibandingkan jumlah keseluruhan pengurus. Tapi mereka cukup menonjol. Ustaz Tengku, misalnya, bukan hanya ‘media darling’, ia juga aktif di media sosial. Pernyataan-pernyataannya sering membuat merah ‘telinga’ penguasa. Demikian pula dengan Kiai Muhyidin Junaidi dan Buya Anwar Abbas. Sangat berani.
Din Syamsuddin, Ketua Wantim Periode 2015-2020, sehari sebelum pelaksanaan Munas ke-10 MUI berkirim pesan yang disebarkan juga ke media massa. Ia mengucapkan selamat, sekaligus mendoakan agar Munas berlangsung lancar. Tak hanya itu sejumlah pesan ia sampaikan.
Di antara pesan yang disampaikan Ketua Umum MUI 2014-2015 itu, adalah “MUI harus mengukuhkan posisi sebagai mitra kritis pemerintah, dengan tidak segan dan sungkan membela jika pemerintah benar dan mengoreksi jika ia salah. Elan vital sebagai ‘Gerakan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar’ harus tetap ditegakkan. MUI perlu dipimpin oleh ulama yang berintegritas dan beristiqamah memperdulikan nasib umat Islam.”
Kemudian, seolah membaca tanda-tanda yang akan terjadi, Din juga berpesan, “agar MUI memantapkan diri sebagai wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan Muslim, dengan menjadi ‘tenda besar’ bagi seluruh organisasi dan lembaga umat Islam. Tiadalah baik jika MUI dikuasai oleh satu-dua organisasi. Maka kepemimpinan MUI masa depan perlu mengakomodasi segenap potensi umat Islam.”