Penjelasan Menarik Dr Khalif Muammar tentang Aswaja dan Ekstremisme
Dalam teks akidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al-Rasyidun tanpa prejudis. Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah Saw dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks).
Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Karena itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan menyebabkan terjadinya fitnah (kekacauan) yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini berbeda dengan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang mudah menghalalkan darah orang Islam.
Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrem kiri (liberalisme) dan ekstrem kanan (ekstremisme).
Aswaja pun punya pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni. Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.
Ulama Aswaja tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstremisme, sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluw sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.
Dr. Khalif Muammar menyimpulkan, bahwa ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu. Wallahu A’lam bish-shawab.
Depok, 31 Januari 2022
Dr. Adian Husaini