Perempuan, Feminisme dan Islam
Liberalisme-sekulerisme tak henti-hentinya dipropagandakan ke tengah masyarakat oleh para penyokongnya. Kaum feminis radikal sebagai salah satu bagian dari golongan penyokong liberalisme termasuk yang sangat bernafsu mengkampanyekan kehidupan liberal tanpa aturan agama dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya keluarga. Mereka mencoba untuk menyingkirkan aturan agama dalam kehidupan keluarga. Pintu masuknya adalah dengan melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Di dalam RUU ini ada banyak celah masuknya nilai-nilai liberalisme-sekulerisme yang berbahaya bagi masyarakat, khususnya keluarga yang menjadi tempat lahir dan tumbuhnya generasi. Dengan berlindung di balik upaya perjuangan membela kaum perempuan, namun sejatinya mereka tengah menawarkan racun dengan kemasan semanis madu. Masyarakat harus jeli dan cerdas dalam melihat isu ini agar tak terperosok semakin dalam ke jurang kehancuran akibat paham-paham menyesatkan anti Islam.
Pola Pikir Keliru Kaum Feminis
Selama ini memang dikenal bahwa kalangan feminis radikal sangat anti terhadap institusi keluarga. Bagi mereka keluarga adalah tempat penindasan bagi perempuan. Feminisme sendiri muncul sebagai kesadaran akan kondisi kaum wanita pada masa masyarakat feodalis di Eropa (hingga pada abad 18). Rasa ‘dendam’ dan ‘frustasi’ terhadap sejarah (Barat) yang dianggap tidak memihak perempuan. Dimana perempuan dianggap sebagai sumber godaan dan kejahatan pada masa itu. Perempuan ditempatkan pada posisi yang sangat rendah, secara struktural maupun kultural. Mereka tak punya hak dan terpinggirkan.
Sehingga kemudian masa revolusi ilmu pengetahuan membuka jalan bagi perempuan yang tertindas untuk bangkit memperjuangkan hak-hak mereka. Awalnya perjuangan mereka adalah menuntut persamaan hak untuk memilih, karena suara perempuan saat itu disamakan dengan anak-anak di bawah umur yang tidak boleh memilih. Mereka juga membuat deklarasi yang didalamnya terdapat sejumlah protes terkait nasib perempuan. Salah satunya tentang perkawinan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Bagi mereka ini adalah bentuk ketidakadilan, ketimpangan dan ketidaksetaraan gender. Yang seringkali dijadikan pembenaran atas penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan (istri).
Dari sini jelas terlihat bahwa kalangan feminis tidak terima dengan adanya institusi keluarga yang patriarkal. Posisi perempuan yang dianggap rendah kala itu, memaksa perempuan harus terus berkutat di ranah privat tanpa boleh dan tanpa bisa bersuara sama sekali. Mereka beranggapan bahwa akar persoalan perempuan adalah keterbelakangan dan ketidakmampuan perempuan dalam bersaing dengan laki-laki karena terlalu berkutat pada ranah domestik privat (keluarga). Karena itulah ‘strata’ semacam ini harus ditiadakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Inilah awal gerakan feminisme liberalis-individualis. Kemudian mendorong peran perempuan yang lebih banyak di dalam industri dan pembangunan yang berada di ranah publik. Namun, seiring berkembangnya zaman, ternyata perempuan tetap saja tertindas dan termarginalkan. Sistem feodalisme yang kemudian digantikan oleh kapitalisme ternyata tidak mampu mengangkat kedudukan kaum perempuan. Malah semakin membuat nasib perempuan terpuruk. Sistem kapitalisme yang berpijak pada modal (kapital) seolah menjadi pengabsahan bagi para pemilik modal yang jumlahnya minoritas untuk menindas mayoritas yang lemah, termasuk perempuan. Akibatnya kemiskinan menjadi fenomena yang merata di tengah masyarakat. Kemiskinan struktural bahkan menjadikan perempuan lebih ‘tertindas’ dari kaum laki-laki yang menyeret kaum perempuan untuk ikut terjun berperan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga. Dan si saat bersamaan mereka tetap harus berjibaku dalam sektor domestiknya (keluarga). Penindasan kapital ini kemudian melahirkan gerakan perlawanan di masyarakat.
Perlawanan terhadap kaum kapital yang menindas tersebut kemudian turut menginspirasi lahirnya gerakan feminisme sosialis/marxis. Kaum feminis menggunakan paradigma ideologi pembebasan yang diadopsi dari marxisme, yang pada intinya adalah teori penyadaran bagi kelompok tertindas, termasuk kaum perempuan, untuk melawan. Dimana penindasan kaum perempuan adalah penindasan kelas dalam hubungan produksi. Dalam pandangan Marx, lembaga perkawinan adalah alat legitimasi bagi kaum laki-laki untuk menjadikan istri sebagai ‘milik pribadi’. Sehingga bisa diperlakukan layaknya barang. Ditambah lagi karena terplot pada ranah domestik yang tidak menghasilkan materi, semakin memperkuat posisi perempuan sebagai milik pribadi suaminya. Yang artinya bebas, terserah suaminya memperlakukan atau mempergunakannya seperti apa selayaknya benda milik pribadi.
Kondisi semacam ini kemudian mendorong para perempuan untuk melawan dan berjuang mencapai kehidupan masyarakat yang egaliter tanpa kelas. Dan perjuangan ini dimulai dari lingkup keluarga. Mereka harus membebaskan diri dari lingkungan domestik yang selama ini memperbudak mereka. Caranya adalah dengan berkiprah seluas-luasnya di ranah publik yang akan membuat produktif dan menghasilkan materi. Sehingga mereka memiliki posisi tawar yang tinggi atau setidaknya setara dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak hanya semakin terbuka peluangnya dalam sektor ekonomi saja tetapi juga di sektor lainnya seperti pendidikan, politik dan sosial. Kaum perempuan pun semakin maju kehidupannya.