Perempuan, Islam dan Peradaban
Ngomongin soal perempuan memang gak akan pernah ada habisnya. Tema ini selalu asik dan menarik untuk terus dikulik.
Sebagaimana lelaki, perempuan adalah hamba Ilahi yang sama-sama diberi akal dan hati. Keduanya di hadapan Tuhannya, sama. Sama-sama dinilai Allah luar biasa sebab takwanya. Sama-sama punya kesempatan nerobos masuk surga. Cuma caranya beda, ada yang masuknya capcus pakai roket, ada yang malu-malu di ujung pintu, ada juga yang mampir neraka di-laundry dulu.
Sebagai hamba yang meyakini Allah, sejatinya kita tak pernah boleh mempertanyakan mengapa Allah menarik garis-garis tertentu untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Mengapa lelaki wajib menafkahi, perempuan tidak. Mengapa hanya perempuan yang hijabnya hampir menutup sempurna seluruh tubuh, sedangkan lelaki tidak. Keyakinan kita pada Allah adalah bentuk kita cinta pada-Nya bukan? Mana mungkin mengaku cinta kalau kita sendiri terus mempertanyakannya?
Adalah perempuan menjadi produk sekaligus bahan baku pembangun peradaban. Dalam peradaban kapitalisme, perempuan dipaksa berdiri menyokong cukong-cukong sobat penguasa. Dengan berbagai dalih, inti utamanya adalah bagaimana perempuan bernilai tinggi. Nilainya bukan nilai yang tak ternilai. Kapitalisme, memandang segala sesuatu dari materi. Sehingga memandang perempuan bernilai ketika ia mumpuni dari segi materi.
Didikan lingkungan itu melahirkan perempuan yang berorientasi materi. Membekali anak-anak dengan berbagai les sana-sini, biar bisa sekolah bergengsi. Targetnya apa, bund? Yes, biar bisa kerja enak bergaji besar. Anak adalah investasi materi bagi kedua orang tuanya.
Dulu ide kesetaraan gender digadang jadi solusi ketimpangan sosial laki-laki dan perempuan. Katanya, stigma masyarakat terlanjur mengakar, laki-laki bekerja perempuan di rumah. Maka lahirlah ide kesetaraan gender melahirkan gagasan semacam: enak aja lelaki boleh sibuk di luar rumah, sedangkan perempuan harus berdikari dengan cucian numpuk, baju kotor, lantai berdebu, mainan anak berantakan, belanja bahan sampai matang jadi makanan.
Yang kekinian tripel burden. Dikatakan bahwa perempuan itu punya tiga kewenangan: reproduksi, sosial dan reproduksi. Ia “bos” di rumah terkait dengan kepengurusan anak dan segala kebutuhan domestiknya. Ia adalah warga masyarakat yang bersosial dan berkarya. Ia bebas berkarir sesuai yang ia kehendaki demi membangun citra diri yang “bernilai”.
Ide feminisme ini semu, khayal dan plin-plan. Semu sebab mana bisa perempuan dan laki-laki disejajarkan. Jelas-jelas Allah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak sama.
Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. (QS. Ali Imran:36)
Maka cita-cita menyamakan laki-laki dan perempuan itu mustahil. Lihat saja, posturnya beda. Kecenderungan akal dan perasaannya beda. Fisik dan kekuatan fisiknya tentu beda. Jadi mau disamakan bagaimana ide ini adalah khayalan semata.