Periode Penafsiran Al-Qur’an dari Masa ke Masa
Al-Qur’an menyimpan makna yang tak bisa terungkap kecuali dengan penafsiran. Embrio penafsiran Al-Qur’an menurut Dr. Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya “Membumikan Ulumul Qur’an”, adalah pada masa Nabi Muhammad Saw dengan proses pengalihbahasaan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain yang dilakukan sebagian sahabat.
Ketika para sahabat berhijrah untuk pertama kali ke negeri Ethiopia, mereka bertemu dengan Raja Najasyi. Pada saat itulah Ja’far ath-Thayyar membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari surat Maryam. Salah satu pejabat kerajaan menerjemahkan ayat-ayat suci Al-Qur’an ke dalam bahasa Ethiopia.
Hal senada terjadi pada saat Nabi Muhammad Saw mengirimkan surat ke Heraklius, Kaisar Romawi, untuk mengajaknya masuk Islam. Nabi menuliskan beberapa ayat suci Al-Qur’an, di antaranya ayat 64 surat Ali Imran.
Raja Heraklius memanggil seorang penerjemah untuk menerjemahkan isi surat Nabi. Begitu juga dilakukan Raja Mukaukis di Mesir Ketika mendapatkan surat dari Nabi.
Kisah-kisah tersebut mengisyaratkan bahwa penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab telah mulai berlangsung, walaupun masih dalam bentuk spontanitas.
Jika penerjemahan redaksi ayat suci Al-Qur’an telah berlangsung pada masa Nabi, demikian juga dengan penafsiran Al-Qur’an. Nabi telah banyak menafsirkan Al-Qur’an. Namun, masih sangat sederhana, yaitu berupa penjelasan terhadap beberapa kalimat Al-Qur’an. Pada masa sahabat, tabiin, tabi’ut tabi’in, dan setelahnya, kegiatan penafsiran Al-Qur’an semakin intensif.
Hal ini ditandai dengan munculnya komunitas tafsir di beberapa kota seperti di Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Secara garis besar, sejarah penafsiran terhadap Al-Qur’an bisa dibagi empat bagian:
Pertama, masa pertumbuhan (abad I-IV H), yaitu semenjak masa Nabi, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan setelahnya. Pada dekade ini, penafsiran dilakukan secara sederhana. Para ulama masih sangat hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tafsir yang ada masih terbatas, yaitu tentang kosa kata yang sulit (gharib), sebab nuzul, dan hadits-hadits yang berkaitan dengan satu ayat.
Kedua, masa keemasan (IV-VIII H) yaitu setelah tafsir menjadi bagian dari salah satu cabang ilmu keislaman yang didukung disiplin ilmu lainya yang sedang tumbuh pesat. Pada saat itu, tafsir menjadi ensiklopedis. Orisinalitas penafsiran sangat terasa. Contoh yang pas untuk periode ini adalah Tafsir ath-Thabari (W. 310 H), Tafsir ar-Razi (544-606 H), dan Tafsir ibn Katsir (700-774 H).
Ketiga, masa kelesuan atau stagnan (VII-XII H) yaitu setelah penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak mengalami kemajuan yang berarti, karena hanya meringkas atau memberikan komentar terhadap karya ulama pendahulu. Contohnya adalah Tafsir al-Baidhawi (w 691 atau 685 H), an-Nasafi (w 701 H), Abussu’ud (W 982 H), al-Khazin (w 741 H).