SUARA PEMBACA

Perkebunan dan Tambang Menggerus Hutan, Sistem Serakah Undang Bencana

Duka tengah menyapa tanah Banua. Hujan deras berdampak luas. Banjir merendam sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan. BPBD Kalsel mencatat per 14 Januari 2021 ada 67.842 jiwa terdampak banjir dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Sedangkan jumlah bangunan rumah warga terdampak banjir tercatat sebanyak 19.452 unit.

Kabupaten Tanah Laut masih mendominasi akumulatif jumlah warga terdampak banjir sebanyak 34.431 jiwa. Disusul Kabupaten Banjar sejumlah 25.601 jiwa. Sedangkan, sisanya berasal Kota Banjarbaru, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tapin, dan sekitarnya. (suara.com, 15/1/2020).

Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menegaskan banjir tahun ini terparah daripada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, curah hujan tinggi berdampak langsung menyebabkan banjir. Namun, masifnya pembukaan lahan dan pertambangan secara kontinu memiliki andil besar dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.

Jefri menyebut antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun. Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar. (kompas.com, 15/1/2021). Sedangkan Walhi, Kalsel mencatat 3,7 juta hektare total luas lahan di Kalsel, nyaris 50 persen di antaranya sudah dikuasai oleh perizinan tambang dan kelapa sawit. (jpnn.com, 15/1/2021). Sementara itu, untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya dalam 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar. (kompas.com, 15/1/2021).

Ironis. Hutan Kalimantan yang kaya keragaman hayati, baik flora maupun fauna, tergerus area pertambangan dan lahan kelapa sawit. Hutan rimbun berubah menjadi area perkebunan milik korporasi rakus. Gunung-gunung berubah menjadi lubang galian tambang yang merusak lingkungan. Walhi Kalsel melaporkan ada 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batu bara. Sebagian lubang berstatus aktif dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi. (jpnn.com, 15/1/2021).

Alhasil hutan sebagai area tangkapan air pun rusak. Rusaknya ekosistem alam di daerah hulu ini, menyebabkan kelebihan air di daerah hilir yang berujung pada bencana banjir. Sementara itu, lubang hasil galian tambang batu bara, tidak hanya merusak alam, tapi juga menumbalkan nyawa. Di Kalimantan Timur misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mencatat sudah 39 jiwa melayang, sebab tewas tenggelam di lubang tambang batu bara yang tidak direklamasi per Juni 2020. (kompas.com, 15/6/2020).

Bencana banjir karena ulah manusia-manusia serakah, mengokohkan bukti kemandulan demokrasi. Lagi, demokrasi gagal total menjaga hak dan kepentingan rakyat. Demokrasi nyata tak mampu melindungi seluruh kekayaan alam milik rakyat, dari campur tangan dan perusakan yang dilakukan oleh para konglomerat.

Demokrasi sukses menumbuhsuburkan perampokan dan perusakan alam oleh para cukong dan penguasa. Eksploitasi besar-besaran dan perusakan alam menjadi lumrah. Sebab disokong oleh berbagai produk hukum buatan penguasa. Mirisnya, perampokan dan perusakan alam ini diprediksi akan bertambah brutal, seiring disahkannya UU Cipta Kerja.

Jelas, demokrasi merupakan zona nyaman bagi kapitalis-oligarki melanggengkan hegemoninya. Ongkos pesta demokrasi yang fantastis, membuat tuan wakil rakyat berselingkuh dengan para konglomerat. Maka jangan heran bila mereka pun berada dalam kontrol para cukong ini. Intervensi dan kontrol mereka adalah keniscayaan dalam setiap produk hukum yang disahkan oleh tuan penguasa. Termasuk untuk mengeksploitasi dan merusak sumber kekayaan hutan Kalimantan.

Paradigma kapitalisme-demokrasi yang berorientasi materi, nyata melahirkan para penguasa serakah yang berotak bisnis. Alih-alih menjadi pengurus dan penjaga hajat hidup dan kemaslahatan rakyat. Di tangan penguasa serakah ini, negara menjadi fasilitator dan regulator bagi kepentingan para kapitalis.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button