Perlawanan Pimpinan KPK: Cicak Vs Komodo!
Jokowi saat ini bukan hanya berhadapan dengan KPK, atau karyawan KPK yang sejak awal menolak revisi. Dia menghadapi banyak front perlawanan.
Semua elemen masyarakat yang selama ini selalu diam membisu, sudah menyatakan suara menentang Jokowi. Menariknya perlawanan ini juga datang dari perorangan, kelompok, organisasi, media maupun perguruan tinggi yang selama ini mendukung Jokowi.
UGM, almamater Jokowi yang selama ini sering menjadi bahan tertawaan, selalu membebek apapun kebijakan Jokowi, menyatakan penolakan. Universitas Islam Indonesia (UII) tetangga UGM di Yogyakarta malah sudah menyiapkan mosi tidak percaya.
LSM semacam ICW, media-media besar pendukung Jokowi seperti Kompas dan Tempo sudah berbalik. Sangat kritis terhadap Jokowi.
Kompas.com edisi Jumat (13/9) bahkan menurunkan artikel yang mempermalukan Jokowi.
Dalam artikel berjudul “Jokowi Tolak Penyadapan KPK Seizin Pihak Eksternal, Padahal Memang Tak Ada di Draf Revisi,” Kompas memaparkan dua fakta yang menyedihkan dari perilaku Jokowi.
Dalam jumpa pers khusus yang digelar soal RUU KPK Jokowi menyatakan, dia menyetujui namun dengan beberapa revisi. “Saya tidak setuju terhadap beberapa subtansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK,” ujarnya.
Ada empat revisi yang disampaikan Jokowi. Namun ternyata dalam draf dari DPR ketentuan yang dimaksud tidak ada.
Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari pihak eksternal.
“Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan,” kata Jokowi.
Dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor.
Dalam pasal 12 draf revisi UU KPK hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Kedua, Jokowi juga mengaku tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.
“Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar,” kata Jokowi.
Namun lagi-lagi dalam pasal 45 draf RUU, sudah diatur bahwa penyidik KPK memang tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Membaca artikel kompas.com itu kita hanya bisa geleng-geleng kepala. Kehabisan kata-kata. Speechless.
Fakta ini kian membuka mata kita bagaimana negara ini dikelola. Benarlah joke yang sudah lama berkembang. Prinsip Jokowi adalah: I dont read, what I sign. Presiden tidak pernah baca, keputusan apapun yang ditandatanganinya.
Tajuk Koran Tempo edisi Jumat (13/9) berjudul, “Melawan Kembalinya Oligarki” menulis:
“Kini pemerintahan Joko Widodo tidak bisa lagi mengklaim sebagai reformis. Presiden Jokowi telah melakukan kesalahan serius dengan berdiri di barisan politikus dan orang-orang yang berusaha merobohkan Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Revisi UU KPK menjadi ujian yang sangat berat bagi Jokowi. Bila salah mengelola, bisa menjadi batu sandungan besar diakhir masa jabatannya.
Salah bersikap, langkahnya ke kursi jabatan periode kedua, bukan tidak mungkin akan terhambat.
Ternyata menghadapi isu pemberantasan korupsi, rakyat Indonesia bisa kembali bersatu. Tak ada lagi pembelahan antara kubu penentang, maupun pendukung Jokowi. Semua kompak.
Sejelek-jeleknya para koruptor, ternyata masih tetap ada gunanya. Mari kita ucapankan terima kasih pada koruptor!
Kalian telah mempersatukan kembali rakyat Indonesia!
Hidup Koruptorrrrrrr!
Merdekaaa! end
Hersubeno Arief
sumber: Facebook @hersubenoarief