Permen PPKS Mengancam Jiwa Kritis Generasi Bangsa
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan meminta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi mengakomodasi masukan dari organisasi masyarakat (ormas) Islam.
Ia menjelaskan, sejumlah ormas seperti Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku keberatan dengan beberapa substansi dari Permendikbudristek tersebut.
Saya kira, kekhawatiran ormas dan tokoh-tokoh Islam harus didengarkan. Jangan sampai ada substansi yang multitafsir, apalagi itu dianggap bertentangan dengan nilai agama dan budaya luhur bangsa,” kata Zulkifli dalam keterangannya, Senin (15/11/2021), seperti dilansir website resmi PAN, pan.or.id.
Kritik terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) makin memanas. Hal ini terlihat dari derasnya penolakan dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, selain memuat pasal penuh kontroversi. Peraturan ini juga memuat sejumlah sanksi.
Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan ada sanksi bagi pihak yang melanggar Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah penurunan akreditasi kampus.
Hal tersebut dipaparkan Nadiem dalam tayangan ‘Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual’ yang disiarkan kanal YouTube Kemendikbud RI seperti dilihat detikcom, Senin (15/11/2021).
Nadiem awalnya bicara soal sanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dia mengatakan sanksi yang bakal diberikan tergantung dari pelanggaran yang terjadi.
“Sanksi ringan yaitu formatnya seperti teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf, sampai dengan sanksi berat. Sanksi administrasi terberat adalah pemberhentian, misalnya sebagai mahasiswa atau sebagai jabatan dosen dan lain-lain,” ujar Nadiem.
Tak ayal peraturan ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Jika memang tujuannya demi melindungi perempuan, mengapa terkesan tidak kompromi terhadap berbagai kritikan?
Multitafsir terhadap peraturan ini mengakibatkan kritikan demi kritikan terus bergulir. Selain itu, sanksi bagi perguruan tinggi yang abai terhadap peraturan ini semakin mengokohkan anggapan bahwa adanya unsur liberalisasi seksual di kampus. Hal ini dilatarbelakangi oleh dibatasinya ruang bagi perguruan tinggi dalam mengkritisi aturan tersebut.