Persatuan Politik Umat Islam Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan (Bagian 1)
Tahun 1937, umat Islam Indonesia pernah punya badan federasi yang menggabungkan seluruh kekuatan kelompok dan ormas Islam yang dinamakan Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Partai Masjoemi sebagai satu-satunya partai milik umat Islam Indonesia.
Salah satu yang melatarbelakangi terbentuknya MIAI adalah perlunya penyatuan umat Islam Indonesia untuk merespon serangan-serangan kepada agama Islam dari penjajah kolonial, para penista agama dan kaum adat.
Menyadari perlunya satu badan federasi ormas-ormas Islam untuk menentang kezaliman penjajah dan para penista agama Islam, maka tokoh tokoh Nahdlatul Oelama (NO) menginisiasi pertemuan-pertemuan yang mengarah pada terbentuknya MIAI. Ketika Jepang datang, maka MIAI dibubarkan diganti dengan badan federasi lain yang bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia disingkat (Masyumi) yang dimanfaatkan Jepang untuk menjadi saluran koordinasi untuk merekrut tenaga perang bagi kepentingan Jepang.
Barulah setelah Jepang minggat dari Indonesia, umat Islam Indonesia bisa kembali menyatukan aspirasi politiknya melalui hasil keputusan Kongres di Yogyakarta tahun 1945 yang menjadikan Partai Masjoemi sebagai satu-satunya wadah perjuangan umat Islam Indonesia di bidang politik.
Sejarah akhirnya mencatat, bahwa Partai Masjoemi yang tadinya menjadi satu satunya wadah perjuangan politik umat Islam Indonesia harus terpecah ketika Nahdlatul Oelama, Partai Serikat Islam dan Perti keluar dari keanggotaan istimewa Partai Masjoemi. Walaupun demikian, antara Partai Masjoemi, Partai NO, Partai SI dan PERTI seringkali punya suara yang sama dalam agenda-agenda yang membahas isu keumatan di Parlemen.
Usaha-usaha untuk menyatukan kekuatan politik umat Islam Indonesia dalam satu wadah Partai Politik beberapa kali pernah dilakukan walaupun masih sangat mentah. Tetapi melalui tangan kekuasaan orde baru, rezim Soeharto berhasil “memaksa” umat Islam Indonesia menerima Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai wadah satu-satunya kekuatan politik umat Islam Indonesia walaupun dalam kendali ketat rezim Soeharto.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, kekuatan politik umat Islam Indonesia pernah diusahakan untuk disatukan tetapi pada akhirnya realitas politik berbicara lain. Kini, kerinduan akan persatuan Politik umat Islam Indonesia dalam satu wadah masih menggoda sebagian tokoh dan aktivis Islam dengan berbagai usaha yang mengarah kesana. Adanya ikhtiar pembentukan Poros Partai Islam menjadi semacam indikator adanya kerinduan tersebut.
Sebelumnya sudah ada juga usaha untuk mengembalikan kejayaan Masyumi melalui perintisan Partai Masyumi Reborn melalui BPU-PPII (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Partai Islam Ideologis) dan pendirian Partai Umat merupakan salah satu indikator kuat adanya kerinduan untuk menggalang kekuatan politik umat Islam Indonesia yang lebih terkonsolidasi dalam satu wadah.
Tetapi sekali lagi, realitas politik berbicara lain, pengembalian mandat oleh Majelis Syura PPII Masyumi pimpinan bapak Abdullah Hehamahua kepada BPU-PPII yang diketuai KH. A. Cholil Ridwan menjadi tanda tanya besar di keluarga besar, cucu dan pendiri Masyumi. Betapa tidak, dua kader terbaik dari Allahyarham Mohammad Natsir harus berpisah jalan karena perbedaan tertentu.
Begitu pula dengan Partai Ummat besutan Prof. Amien Rais. Partai yang dimaksudkan untuk menjadi wadah perjuangan umat Islam Indonesia belum tentu dapat menjadi lokomatif baru bagi menampung aspirasi kekuatan politik umat Islam Indonesia. Partai Ummat tidak lahir dari orisinalitas niat untuk merintis usaha penyatuan umat Islam Indonesia di bidang politik tetapi lebih karena ekses pecah kongsi dengan kubu Zulkifli Hasan dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN).
Pendirian Partai Umat yang dilatarbelakangi kekalahan dengan basis pendukung Zulkifli Hasan dalam PAN menjadikan citra Partai ini terasa sumir untuk digolongkan sebagai usaha menggalang penyatuan kekuatan politik umat Islam Indonesia.
Belajar dari beberapa kasus jatuh bangun (rise and fall) kekuatan politik umat Islam Indonesia di atas, maka umat Islam Indonesia harus melakukan rethinking terhadap usaha-usaha penyatuan kekuatan politik umat Islam Indonesia. Mimpi untuk melembagakan kekuatan politik umat Islam Indonesia dalam satu wadah nampaknya lebih banyak menemui jalan terjal ketimbang berhasil. Oleh sebab itu, kerinduan akan penyatuan kekuatan politik umat Islam Indonesia dalam satu wadah perlu ditinjau ulang untuk lebih menemukan strategi yang realistis demi mencapai tujuan kepentingan umat Islam Indonesia.
Sebelum kita dapat meninjau ulang usaha penyatuan kekuatan politik tersebut, kita perlu bertanya secara substantif dan terstruktur. Pertama, siapa saja yang bisa merepresentasikan kekuatan politik umat Islam Indonesia ? Kedua, apa saja tujuan politik umat Islam Indonesia? Ketiga, apa saja strategi yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk didalamnya apakah perlu penyatuan kekuatan politik umat Islam Indonesia dalam satu wadah?
Ketiga pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara acak, tetapi harus berurut karena jawaban pertama sebagai syarat pokok menjawab pertanyaan kedua, dan jawaban kedua sebagai syarat menjawab pertanyaan ketiga.