OPINI

Persatuan Politik Umat Islam Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan (Bagian 1)

Dampak dari misrepresentation ini adalah munculnya kelompok-kelompok umat Islam dengan wajah yang berbeda. Mereka tidak lagi tergabung dalam bentuk ormas yang formal seperti dulu kala. Bentuk mereka lebih cair dan lebih fokus pada penanganan masalah yang akan dikerjakan. Komunitas-komunitas pengajian berbasis perumahan atau masjid yang tersebar di kota-kota besar bisa menjadi contoh dari bentuk tandingan dari ormas yang sudah ada. Gejala ini positif sekaligus dapat berdampak negatif bagi masa depan umat Islam Indonesia. Positifnya adalah fleksibilitas gerakan yang sifatnya spontanitas dan cepat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi karena birokrasi struktural yang tidak berbelit-belit.

Tetapi dampak negatif bagi masa depan umat Islam di Indonesia adalah sulitnya mengidentifikasi kepemimpinan permanen dari kelompok-kelompok ini sehingga agak sulit mengkonversikan suara mereka menjadi kekuatan politik umat Islam Indonesia. Kerapkali kelompok seperti ini datang dan pergi berdasarkan isu yang sedang trending. Kelompok – kelompok cair ini mendapatkan panggung yang cukup besar di platform media sosial yang cenderung anonymous. Bagi ahli propaganda media sosial yang mampu mempengaruhi pikiran -pikiran kelompok yang cair ini maka boleh jadi sebagai ceruk yang khas dari suara umat Islam Indonesia, mereka bisa saja apolitis dan cenderung tidak simpati dengan Partai Politik. Perlu penelitian yang lebih mendalam terhadap berkembangnya struktur informal diluar ormas-ormas Islam yang sudah ada apalagi untuk mengkonversi suara mereka sebagai kekuatan politik baru.

Kelompok ini sangat rentan dengan perubahan isu dan bersifat kritis tanpa afiliasi kepada ormas tertentu. Boleh jadi kelompok ini adalah kelompok floating mass yang tergantung dengan kekuatan propagandis yang menyasar mereka. Menurut survei LSI Denny JA pada bulan Februari 2020 terdapat 35 persen Muslim Indonesia tidak berafiliasi dengan ormas-ormas Islam yang ada. Sebagian besar massa demo 212 beberapa tahun yang lalu merupakan contoh yang paling dekat untuk menggambarkan profil kelompok ini, mereka bergerak berdasarkan isu yang disepakati dalam platform media sosial, sedangkan FPI dan ormas sejenisnya hanyalah sebagai pemantik bagi kelompok yang cair ini. Setelah isu tidak diminati lagi, maka kelompok-kelompok cair dari umat Islam Indonesia ini sulit untuk dimobilisasi kembali.

Dari uraian diatas, tentu agak sulit menyimpulkan dalam menjawab siapa sebenarnya yang dapat merepresentasikan umat Islam Indonesia apalagi mencari representasi dari kekuatan politik umat Islam Indonesia. Spektrum yang luas dari kelompok dan ormas Islam menjadikan basis representasi umat Islam Indonesia tidak bisa homogen. Sedangkan kelompok-kelompok cair dari sebagian umat Islam yang tidak berafiliasi dengan ormas menjadi tantangan tersendiri untuk mengidentifikasikan dan mengkonversi suara mereka menjadi kekuatan riil politik umat Islam Indonesia.

Yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah kualitas idealisme dari pimpinan yang mewakili kelompok dan ormas-ormas Islam yang ada, karena mau tidak mau, tetap saja pimpinan struktural yang menjadi basis legitimasi ormas-ormas Islam tersebut dan dianggap punya otoritas untuk mengatasnamakan arus bawah dari anggota ormas masing-masing. Tentunya pertempuran untuk merebut pimpinan puncak dari ormas-ormas ini menjadi dinamika tersendiri yang sama rumitnya dengan merepresentasikan umat Islam Indonesia.

Jika kualitas idealisme dari pimpinan ormas-ormas Islam tersebut bisa sesuai dengan karakter dan legacy dari para Founding Fathers ormas masing-masing, maka bukanlah masalah yang pelik untuk menobatkan kelompok dan ormas Islam mana saja yang benar-benar genuine mewakili wajah umat Islam Indonesia. Ketika kita sudah dapat menemukan siapa yang dapat merepresentasikan umat Islam Indonesia berdasarkan kelompok dan ormas-ormas yang ada, maka perkara yang sama sulitnya adalah siapa yang bisa merepresentasikan kekuatan politik umat Islam Indonesia.

Boleh jadi dua hal ini tidak seiring sejalan, karena untuk masalah keumatan biasanya lebih mudah melakukan komunikasi yang sebangun, tetapi ketika memasuki wilayah politik apalagi politik praktis seperti partai politik, maka akan terjadi saling klaim (fait a comply ) antara partai politik yang ada untuk menjustifikasi bahwa partai mereka yang paling merepresentasikan ormas Islam tertentu.

Dalam wilayah ini seringkali terjadi tarik ulur antara kelompok dan ormas Islam dengan partai politik yang coba mengklaim/mengatasnamakan. Kita bisa melihat hubungan antara Nahdhatul Ulama dengan Partai Kebangkitan Bangsa, Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional, PPP dengan unsur ormas fusinya (NU, Parmusi, SI, Perti) dan Partai Bulan Bintang dengan para wali amanah pendirinya. Hanya PKS yang terlepas dari proses tarik ulur tersebut karena sedari awal mereka sudah melebur menjadi satu kekuatan (kekuatan ormas dan politik).

Proses tarik ulur yang sangat dinamis ini bisa dimaknai tidak adanya aturan yang mengikat antara ormas-ormas Islam dengan Partai Politik tersebut. Karena berdasarkan hasil pemilu legislatif tahun 2014 ternyata warga Muhammadiyah lebih banyak memilih Partai Golkar ketimbang PAN, dan warga Nahdliyin lebih banyak memilih PDIP ketimbang PKB (Hasil Survei SMRC tahun 2014).

Hampir semua ormas Islam menyatakan secara resmi tidak ada afiliasi langsung dengan partai politik tertentu. Tetapi seringkali ketika kepentingan politik bertemu misalnya terkait kursi jabatan, maka yang terjadi adalah hubungan “kucing-kucingan” diantara kedua entitas tersebut. Hubungan “kucing-kucingan” antara ormas Islam dengan partai politik ini ternyata lebih banyak menguntungkan partai-partai non Islam. Jika hubungan “kucing-kucingan” ini terus berlanjut maka suara-suara partai politik Islam akan terus tergerus karena ikatan emosional ideologis yang tidak terbangun dengan solid.

Karena politik yang berdasarkan ideologi Islam hanya kuat jika ikatan emosional tersebut terus dipupuk, dibangun dan dipelihara/dirawat. Itulah sebabnya mengapa Party ID (Identifikasi pemilih ke Partai Politik tertentu) di Indonesia sangat amat rendah, malahan terendah di dunia menurut SMRC. Menurut survei terakhir yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan Februari 2021 menunjukkan bahwa Party ID di Indonesia hanya berkisar di angka 6.8 %. Bandingkan dengan negara seperti Amerika yang mencapai angka rata -rata 30 persenan dan di Inggris hampir mencapai 40 persen-an.

Oleh sebab itu, adalah hal yang cukup sulit untuk meningkatkan dukungan suara ke partai-partai yang mengklaim sebagai representasi kekuatan umat Islam Indonesia ditengah hubungan yang serba samar antara Partai Politik dengan kelompok dan ormas Islam yang ada. Rendahnya Party ID menandakan bahwa pemilih di Indonesia tidak ideologis dan cenderung pragmatis. Kita tidak bisa berharap banyak dengan adanya pemilih yang tidak ideologis seperti itu, karena partai baru apapun yang ditawarkan di Indonesia pasti akan mendapat tempatnya karena pemilih bisa dengan mudah berpindah dan memilih partai manapun tanpa melihat cita-cita ideologis yang diusung oleh partai yang bersangkutan.

Sebenarnya ini lonceng bahaya bagi masa depan politik umat Islam Indonesia, karena sulit menjaga legacy atau khittah perjuangan dari sebuah pondasi yang pernah ditanamkan oleh founding fathers umat Islam Indonesia. Solusinya adalah kelompok dan ormas Islam harus mau berubah dan nyatakan dengan jelas Partai Politik mana yang menjadi saluran aspirasi anggotanya, sehingga kekuatan politik umat Islam di Indonesia dapat berjaya. (bersambung)
Wallahu ‘alam Bishawwab.

Taufik Hidayat
Kabid Polhukam Dewan Da’wah

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button