Persatuan Politik Umat Islam Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan (Bagian 1)
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita harus mulai dengan mendefinisikan kata “umat” terlebih dahulu. Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis maka kriteria umat biasanya dapat dikuantifikasikan dengan jumlah yang banyak tetapi dapat juga dengan jumlah yang hanya sendirian seperti Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl : 120) sehingga membatasi umat Islam hanya pada jumlah tertentu menurut Al-Qur’an kuranglah tepat, sehingga yang menjadi indikator dari kata umat adalah keutamaan – keutaamaan atau kesempurnaan – kesempurnaan yang terkumpul pada banyak orang, sedikit orang maupun satu orang. Jadi indikator umat adalah pada kualitas idealisme dari seorang atau sekelompok manusia sehingga walaupun berjumlah satu orang tetaplah dilabeli sebagai umat asal memenuhi syarat kualitas idealisme seperti kasus Nabi Ibrahim.
Tentunya jika menyangkut kualitas idealisme, sosok yang menjadi panutan tertinggi adalah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Kualitas mereka tidak ada bandingannya dalam lintas sejarah umat Islam. Kekuatan iman, pengorbanan dan perjuangan yang mereka berikan untuk Islam tidak perlu diragukan lagi. Sekarang mari kita kembali berkaca kepada umat Islam di Indonesia, adakah kita mempunyai cukup tokoh atau aktivis yang minimal sebanding dengan kualitas para sahabat Rasulullah Saw sehingga kita layak disebut umat seperti defenisi yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an dan Hadis?
Cara yang paling mudah untuk melihat kualitas idealisme dari umat Islam Indonesia adalah melihat hasil karya kelompok-kelompok atau ormas-ormas (organisasi masyarakat) Islam yang selama ini berbuat untuk kepentingan umat Islam Indonesia. Kita harus mengakui bahwa karya yang dihasilkan oleh kelompok dan ormas-ormas Islam di Indonesia cukup banyak dan variatif.
Misalnya ormas Nahdlatul Ulama (NU), mereka telah banyak mengorganisir tumbuh kembangnya pesantren-pesantren yang mendidik umat Islam menjadi santri yang berakhlakul karimah, walaupun tidak tentu sempurna tetapi NU telah memberikan pendidikan agama yang mudah diakses untuk masyarakat kelompok bawah yang terkadang tidak mampu ditangani oleh negara maupun kelompok lainnya.
Terlepas pro kontra dengan adanya perbedaan maupun friksi mazhab dan manhaj dengan ormas-ormas Islam lainnya, tetapi Nahdlatul Ulama telah berbuat secara massif untuk kepentingan pendidikan agama bagi masyarakat Indonesia minimal mengenalkan prinsip-prinsip dan dasar amaliah ajaran Islam dalam bahasa yang lebih akomodatif dengan budaya setempat. Militansi para kyai-kyai yang kadang mendirikan pesantren di pelosok-pelosok hutan demi mengenalkan Islam kepada masyarakat bawah merupakan dimensi perjuangan yang harus kita beri apresiasi.
Tak banyak orang yang mau merintis sebuah pondok pesantren dari nol, para kyai-kyai NU inilah yang berjibaku dengan keterbatasan alam maupun kondisi ekonomi warga sekitar yang mereka didik. Terkadang para kyai justru harus memikirkan kehidupan para santrinya yang serba kekurangan. Sebuah perjuangan yang tidak mudah bagi kebanyakan kiai-kiai di komunitas Nahdlatul Ulama.
Begitu juga dengan ormas Muhammadiyah, kader-kader profesional yang banyak mengenyam pendidikan barat dapat berkolaborasi secara apik dengan ajaran Islam sebagai sumber inspirasi gerakannya. Jumlah lembaga pendidikan modern yang dilahirkan oleh Muhammadiyah telah memberi corak warna tersendiri pada ciri pendidikan Islam ala Indonesia yang banyak digagas oleh para tokoh dan aktivis Muhammadiyah. Kualitas idealisme persyarikatan Muhammadiyah telah diakui dunia Islam sebagai kekuatan Islam progresif yang bisa menjembatani antara prinsip-prinsip Islam yang qathi dengan progresifitas ilmu pengetahuan yang selalu berkembang terus.
Tentunya ormas Nahdlatul Ulama dan ormas Muhammadiyah tidak mampu menampung seluruh potensi aspirasi umat Islam Indonesia yang cukup besar, maka keberadaan ormas-ormas lain yang senada dengan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah menjadi kanal yang penting untuk menyerap gradasi spektrum pemahaman ke-Islam-an yang kadang berbeda.
Kelompok dan Ormas-ormas Islam seperti Al-Irsyad, Persis, Al-Washliyah, Nahdlatul Wathan, Matlaul Anwar, Hidayatullah, Yayasan Dewan Da’wah dan sebagainya menjadi sangat penting untuk tetap eksis dan tumbuh subur di Indonesia, karena besarnya jumlah umat Islam Indonesia yang harus dibina, maka banyaknya ormas Islam dengan segala corak dan strategi perjuangan yang ada akan menambah kekuatan umat Islam Indonesia itu sendiri.
Legitimasi ormas Islam sebagai representasi umat Islam Indonesia dulu pernah diakui melalui DPR-MPR zaman orde baru, dimana disediakan kursi utusan golongan yang menjadi jatah para pimpinan teras dari ormas-ormas Islam walaupun pada saat itu tidak begitu efektif karena sistem pemerintahan bersifat sentralistik kepada figur presiden Soeharto. Kini, ormas-ormas Islam bisa saja menjadi representasi dari umat Islam Indonesia, tetapi yang menjadi masalah saat ini adalah apakah pimpinan formal yang mengatasnamakan ormas-ormas Islam tersebut dapat mewakili legacy atau khittah perjuangan yang menjadi fondasi dasar dari berdirinya ormas-ormas Islam tersebut.
Terkadang kita belum mampu merasakan ke-‘arif-an, ke’alim-an atau pun kebijaksanaan dari pimpinan ormas ormas Islam yang ada saat ini dibandingkan dengan karakter yang kita pahami dari tokoh-tokoh ormas Islam zaman dulu. Sebutlah misalnya resolusi jihad yang digelorakan oleh KH. Hasyim Asy’ari yang penuh dengan semangat anti penjajahan dan penguasaan asing terhadap bumi Indonesia, lihatlah bagaimana tokoh sekelas Buya Hamka yang lebih baik mundur sebagai ketua MUI daripada harus menuruti pesanan rezim saat itu, pelajarilah pula bagaimana Mohammad Natsir melakukan aksi nyata menyatukan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kekuatan lobby politik ke seluruh Indonesia.
Banyak kisah-kisah heroik dari pimpinan -pimpinan kelompok dan ormas Islam pada zaman dulu yang menyebabkan mereka pantas dinobatkan sebagai pemimpin umat sekaligus menjadi wajah yang otoritatif dari kekuatan politik umat Islam Indonesia saat itu. Kini banyak profil pimpinan ormas-ormas Islam belum mampu menunjukkan karakter yang sebanding dengan nama besar pimpinan mereka masa lalu, kebanyakan hanya menjadi penerus administratif untuk memenuhi struktur jabatan semata tanpa terasa lagi warna ideologi yang menjadi ruh perjuangan kelompok dan ormas-ormas Islam masa lalu.
Dengan bahasa lain, kebanyakan pimpinan ormas Islam saat ini menjadi misrepresentation dengan institusi yang mereka wakili, sehingga banyak aspirasi dari arus bawah tidak diartikulasikan dengan baik malahan terkadang terhambat untuk disuarakan karena berbagai faktor politis.