OPINI

Persoalan Pokok Umat Islam: Kalah di Bidang Politik

Partai politik Islam kalah telak di Pemilu 2019. Dakwah Islamiyah akan menghadapi hari-hari yang sulit. Umat Islam perlu segera memperbaharui pandangan dan sikap politiknya.

Sudah dua bulan lebih –sejak diumumkan pada Sabtu 31 Agustus 2019, aku menunggu, berharap ada yang mengulas hasil Pemilu Legislatif 2019 dalam perspektif (kepentingan) Islam. Aku menilai dikursus soal ini menarik, mengingat suasana menjelang pemilu begitu panas,bahkan terkesan tegang terutama di internal umat Islam. Setidaknya, ada kajian yang bersifat evaluative, atau bahkan kemungkinan pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Tetapi apa yang kuharapkan tak juga muncul. Mungkin oleh para pemikir Islam hasil Pemilu Legislatif tak lagi seksi untuk diperbincangkan, Atau, mungkin juga energi umat Islam telah terkuras habis dikarenakan fokus pada drama pilpres yang berujung pada rasa kecewa.

Bagiku, hasil Pemilu Legislatif ini sangat penting untuk dicermati. Sejak awal aku berpendapat, umat Islam mestinya lebih fokus pada pemenangan legislatif tenimbang pilpres. Sebab, dalam pandanganku waktu itu, sekali pun Prabowo akan memenangi kontestasi, tetapi bila di DPR RI Umat Islam kalah, Probowo akan berkoalisi dengan “grup” PDIP dan Pakta Integritas (hasil Ijtima’ Ulama II) yang ditandanganinya akan menjadi pengisi tong sampah belaka (Masri Sitanggang, Adu Cerdas di 2019. Harian Waspada 16/10/2018). Terbukti kemudian parta-partai Islam kalah, Probowo pun kalah dan sudah pula berkoalisi dengan PDIP grup. Sekarang tinggal menunggu bagaimana nasib umat ini lima tahun ke depan.

Perolehan kursi legislatif oleh partai-partai Islam pada Pemilu 2019 berada jauh di bawah partai-partai sekuler. Jika PKB, PKS, PAN dan PPP bisa dianggap mewakili aspirasi Islam, maka total perolehan partai-partai itu hanya 171 dari 575 kursi yang ada (atau hanya 29,7 per sen), turun 4 kursi dari pemilu 2014. Atau berkurang 14,03 persen dari hasil pemilu tahun 1955 (di pemilu tahun 1955 itu, Partai Masyumi menempatkan diri sebagai pemenang ke dua (20,92 persen) dan total perolehan partai-partai Islam mencapai 43,73 persen dari total kursi yang ada). Bila kita masih membelah partai Islam itu menjadi kubu 01 dan kubu 02 –dan masih menganggap yang memihak kepentingan umat Islam adalah yang berada di kubu 02 (mudah-mudahan anggapan ini tak ada lagi), maka perolehan kursi partai “pemihak kepentingan umat Islam” cuma (PAN dan PKS) 94 kursi atau 16,3 persen. Sangat memprihatinkan. Entah karena berbagai alasan, gerakan 212 belum mampu mendongkrak posisi Partai Islam di parlemen.

Dengan komposisi perolehan kursi yang demikian, nasib umat Islam Indonesia ke depan sangat ditentukan oleh partai-partai pemenang pemilu: sejauh mana ia berpihak? Realitanya, selama ini, partai sekuler malah cenderung kurang berpihak pada kepentingan Umat Islam. Kalau prilaku politik partai sekuler itu konstan, maka nasib umat Islam dan Dakwah Islamiyah di masa datang akan menghadapi hari-hari yang sulit.

Dengan berpatokan pada persentase penduduk Muslim Indonesia 87-an per sen dan total perolehan kursi partai Islam 29,7 per sen, berarti pada Pemilu 2019 lalu ada lebih dari 57 per sen umat Islam memilih partai sekuler. Artinya, secara kasar, Umat Islam yang memilih partai Islam hanya sepertiga dari total umat Islam Indonesia.

Beberapa kemungkinan penyebab mengapa dukungan umat Islam terhadap Partai Islam rendah, sekaligus juga dapat dianggap sebagai kurang berhasilnya dakwah Islamiyah, bisa diuraikan sebagai berikut. .

Pertama, lemahnya seruan (dakwah) kepada umat untuk terlibat memberikan peran politiknya. Ini bisa terjadi karena kandungan materi dakwah minim dari hal-hal yang berkaitan dengan politik Islam. Artinya, bab yang membahas soal-soal muamalah-politik masih sangat kecil, jauh tertinggal dari materi dakwah yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh. Dakwah Islamiyah masih didominasi oleh materi pahala dan dosa serta amalan seputar ruang kerja dan kamar mandi. Belum serius beranjak ke materi “liyudzhirohu ‘alad dieni kullihi”, memenangkan Islam terhadap semua sistem yang ada.

Kedua, sikap politik mengambang ormas-ormas Islam. Ormas-ormas Islam merupakan representasi (bahkan mungkin benteng) masyarakat Islam. Setiapkali menghadapi Pemilu, Ormas-oramas Islam tampak seperti gamang dalam menentukan sikap politiknya. Mereka seperti menghindar dari kecenderungan kepada partai Islam tertentu. Para pengurusnya lebih suka bersikap mengambil jarak yang sama terhadap semua partai, baik terhadap yang sekuler maupun yang Islam. Mereka lebih suka membiarkan anggotanya menjadi massa mengambang dan bahkan membiarkan berkecenderungan ke partai sekuler.

Lebih dari itu, ada juga Ormas Islam yang bangga jika ada kadernya menjadi anggota dewan dari berbagai partai (baik sekuler maupun Islam). Ini memang terasa sedikit ambivalen. Di satu sisi, ormas Islam didirikan sebagai alat perjuangan “izzah Islam wal Muslimin”, mengangkat martabat kemulian Islam dan Umat Islam –melalui tema sentral “amar ma’ruf nahi munkar”. Namun di sisi lain kurang berani mengambil risiko dalam menentukan sikap politik. Tidak berani secara terbuka membela Partai Islam. Andai saja Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al- Washliyah, Hidayatullah dan ratusan Ormas Islam lainnya (kecuali underbow partai sekuler) punya komitmen yang sama untuk membesarkan Partai Islam, peta politik Indonesia sangat mungkin berubah. Kisah sukseh Masyumi di tahun 1955 akan terulang dan mungkin lebih dari itu.

Ketiga, pilihgan strategi “menjadi garam” yang memberi rasa tanpa merubah warna atau “merubah dari dalam”. Strategi ini sejalan dengan selogan “Islam Yes Partai Islam No”-nya Nurcholis Majid. Pilihan strategi ini akhirnya lebih medorong umat Islam masuk dan membesarkan partai sekuler tenimbang Partai Islam. Sepanjang 21 tahun perjalanan reformasi, posisi politik umat Islam kian terpinggirkan. Partai-partai sekuler bukannya semakin mendekat kepada Islam, malahan ideologi sekulernya semakin kental. Itu artinya, strategi garam yang dicoba oleh politisi Islam gagal total dan harus ditinjau ulang.

Pada masa Orde Baru, di mana partai hanya ada tiga –PPP, Golkar dan PDI— dan Golkar jadi partai penguasa, dengan model demokrasi “ala Orba”, strategi “menjadi garam” berpeluang besar untuk berhasil. Para politisi Islam ramai-ramai masuk ke Golkar. Meski perlahan, mereka mampu mewarnai Golkar sehingga muncul era ijo royo-royo. Pada era reformasi ini, strategi garam, merubah dari dalam, gagal total. Ini disebabkan oleh karena Indonesia menerapkan demokrasi kapitalis-libarelis. Partai-partai sekuler lebih mirip sebuah perusahaan keluarga atau dinasti. Kebijakan partai lebih pada apa maunya “pemilik” dari pada kecerdasan dan kearifan para pengurus yang tidak punya “saham” di partai. Artinya, tidak diprlukan garam di situ.

Keempat, Partai-partai Islam yang ada belum mampu menjadi penyalur asprisai umat Islam Indonesia. Sebahagian besar Umat Islam belum merasa terwakili dengan partai-partai Islam yang ada. Lebih dari itu, sebahagian besar umat Islam (57 persen) menilai partai Islam yang ada sekarang ini tidak berbeda nyata dengan partai-partai sekuler. Itulah yang mendorong mereka untuk lebih memilih partai sekuler. Kita mungkin menyebutnya sebagai alasan pragmatis. Di lain pihak, partai-partai Islam dalam programnya terkesan saling berebut konstituen yang sama dengan menjadikan partai Islam lainnya sebagai musuh. Sangat kurang upaya merebut suara 57 persen umat Islam yang memilih partai sekuler, memanggil mereka pulang ke rumah sendiri.

Sejak bubarnya Partai Islam Masyumi tahun 1960, umat Islam di gelanggang politik nyata semakin terpinggirkan. Total perolehan kursi DPR RI oleh partai partai Islam, dari Pemilu ke Pemilu sesudahnya, tak pernah menyamai perolehan kursi di tahun 1955. Hal ini berdampak besar terhadap arah pembangunan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketuhanan “Yang Maha Esa”, sebagai pengganti tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, ternyata tidak secara sungguh-sungguh dijadikan dasar bagi pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan nasional. Islam dan Umat Islam tidak mendapat tempat secara wajar dan proporsional dalam pembangunan bangsa. Sebaliknya, gagasan-gagasan yang berseberangan dengan nilai-nilai KeIslaman justru mendapat tempat. Islam fobia tampak tumbuh kian subur, persis seperti masa-masa penjajah Portugis dan Belanda kala itu, di mana Islam dan umat Islam dicuriagai dan dibatasi ruang geraknya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti kehilangan makna karena kesenjangan sosial kian lebar dan dalam. Kondisi ekonomi bangsa Indonesia sangat timpang, baik dari sisi pendapatan maupun penguasaan aset-aset ekonomi. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang secara konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ternyata hanya dinikmati kelompok tertentu. Umat Islam –meski merupakan warga mayoritas dan yang paling bertanggung jawab terhadap lahirnya bangsa Indonesia ini, hanya menguasai 12 persen perekonomian Indonesia. Itu pun terbatas pada mengelola ekonomi mikro.

Umat Islam perlu segera memperbaharui pandangan, sikap dan prilaku politiknya agar dapat mengubah keadaan. Upaya membentuk partai pelanjut perjuangan Masyumi, partai yang merupakan representasi –dan oleh karenanya didukung oleh, Ormas-ormas Islam adalah langkah cerdas. Kehadiran partai ini terasa semakin penting dan mendesak. Sebab, sebagaimana telah diutarakan di atas, sesungguhnya persoalan pokok dan mendasar umat Islam saat ini adalah kekalahan di bidang politik.

Ada pun persoalan-persolan lain –semisal ketimpangan ekonomi, perlakuan yang terasa tidak adil, pelecehan nilai-nilai Islam dan semacamnya– itu adalah dampak belaka dari ketiadaan kekuatan politik umat Islam. Dampak dari kekalahan politik. Andaikata umat Islam memiliki kekuatan politik, persoalan-persoalan semacam itu dengan mudah ditangani, atau malah tidak akan pernah muncul.

Oleh karena itu umat Islam harus merebut kekuatan politik, sebagaimana yang diputuskan dalam Kongres Umat Islam Sumatera Utara 31 Maret-1 April 2018. Ormas-ormas Islam harus bersama-sama, bahu-membahu, membangun dan membesarkan partai yang diharapkan menjadi pelanjut perjuangan Masyumi ini.

Sementara itu, partai partai Islam yang sekarang ada jangan melihat kelahiran Partai Islam baru sebagai saingan. Jadikanlah ia sebagai saudara satu tim yang akan mengajak 57 per sen lebih umat Islam yang ada di partai sekuler untuk pulang ke rumah sendiri. Inilah jalan yang memungkinkan nasib umat Islam Indonesia ke depan tidak semakin suram. Walahu a’lam bishshawaab.

Dr. Masri Sitanggang
Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI )
Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI)

Artikel Terkait

Back to top button