Pesan Moderasi Pasca Bom Bunuh Diri
Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Namun, tampaknya pernyataan itu tidak berefek apapun bagi mereka yang sudah kadung menstigma ketika ada peristiwa bom meledak, pikirannya langsung tertuju pada agama tertentu, yaitu Islam.
Aksi bom bunuh diri pasutri muda di Gereja Katedral, Makassar, kembali menoreh luka lama. Meski umat Islam melakukan penyangkalan bahwa Islam bukan agama teroris atau ajaran radikal, propaganda War On Terrorism yang diinisiasi oleh AS sejak peristiwa 9/11 telah berhasil menggiring opini bahwa Islam sangat lekat dengan tindakan terorisme.
Propaganda ini pun sangat membekas di ingatan publik. Terjadilah efek jangka panjangnya, yaitu Islamofobia. Tentu yang paling dirugikan akibat propaganda GWOT adalah umat Islam. Sebagaimana yang pernah diungkakan John Pilger, “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang melawan terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme.”
Bom bunuh diri Makassar seakan memberi pesan terorisme di Indonesia masih belum tuntas diberantas. Rekam jejak bom terorisme dimulai dari peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002. Berikut rentetan bom yang pernah terjadi di Indonesia: Bom JW Marriot (2003), Bom Kedubes Australi (2004), Bom Bali II (2005), Bom Ritz-Carlton (2009), Bom Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Surabaya (2018), Bom Medan (2019), dan yang terbaru Bom bunuh diri Makassar (2021).
Ada Apa dengan Terorisme?
Dari fakta di atas, ada beberapa catatan yang patut kita garisbawahi:
Pertama, Islam melarang aksi teror dan bom bunuh diri yang mencelakai diri sendiri dan orang lain. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 29 yang artinya, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian.”
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” (HR Bukhari Muslim).
Kedua, bom Makassar menutupi berita-berita yang banyak disorot publik. Hal ini seringkali terjadi tatkala ada aksi teror yang digambarkan pelakunya muslim. Sepanjang waktu hingga berhari-hari media tak pernah sepi memberitakan perkembangan kasus terorisme. Isu-isu nasional yang banyak mendapat kritik publik akhirnya tenggelam dengan hanya satu isu, yaitu terorisme.
Tak ayal, publik pun menerka bahwa isu terorisme berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang tak kalah menarik dikritisi. Padahal jika berbicara terorisme, ada KKB Papua yang juga perlu ditindak secara tegas dan terukur seperti halnya densus 88 memperlakukan para pelaku dan terduga terorisme dengan sigap dan cepat. Apakah terorisme hanya berlaku bila pelakunya beragama Islam saja? Harusnya tidak.
Ketiga, bom Makassar menjadi pemantik menyuburnya Islamofobia di negeri ini. Bagaimana tidak, pelaku pasutri yang bunuh diri dengan meledakkan diri teridentifikasi seorang muslim, milenial, dan beberapa barang bukti yang seolah menyudutkan kelompok Islam tertentu. Di beberapa kasus lainnya, Al-Qur’an dan buku-buku seputar jihad menjadi barang bukti terorisme.
Framing dan narasi negatif semacam ini kerap menimpa umat Islam. Imbasnya, mereka takut mempelajari Islam lebih dalam karena khawatir terpapar pemahaman teroris. Mereka juga membangun benteng seakan jika belajar Islam, aktif berdakwah, cinta Al-Qur’an bakal menjadi bibit teroris. Inilah Islamofobia. Propaganda yang sengaja dibuat untuk mencitraburukkan Islam dan menjauhkan kaum muslim dari ajaran agamanya sendiri.